Ibnu
Taimiyah berafiliasi kepada madzhab Imam Ahmad Ibnu Hambal. Dan ia merupakan
pengikut yang faqih dari madzhab ini. Kemudian ia berijtihad sendiri
sehingga mencapai tingkatan seorang mujtahid. Ibnu Taimiyah mengikuti
metodologi Ahmad Ibnu Hambal , yang karenanya prinsip dan metodologi Ibnu
Taimiyah tetap berkisar pada madzhab tersebut. Dalam hal ini ia adalah pelanjut
metodologi literalis Ahmad Ibnu Hambal dan Daud al-Zhahiri.
Inti
dari pemikiran Ibnu Taimiyah berpusat pada seperangkat prinsip yang darinya ia
mengembangkan sebuah pandangan dunia. Prinsip-prinsip ini dapat diringkaskan
sebagai berikut:
1. Perbedaan absolut
antara Pencipta dan yang diciptakan
Ini
merupakan landasan filosofis menyangkut kedudukan Tuhan dan manusia, yang ontologis
berbeda secara mutlak. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik Ibnu
Taimiyah dengan paham wahdat al-wujud yang merelatifkan hubungan Tuhan
dan manusia.
2. Wahyu sebagai sistem
yang lengkap dan mencukupi
Merupakan
landasan epistemologis menyangkut kedudukan wahyu sebagai sumber pengetahuan bagi
manusia yang bersifat lengkap dan mencukupi. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi
oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan para filosof dan rasionalis Mu’tazilah yang
selalu mengedepankan akal dan melakukan ta’wil.
3. Keharusan untuk
selalu kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta memahaminya di bawah
cahaya ajaran-ajaran generasi awal umat Islam (al-Salaf al-Shalih)
Merupakan
landasan aksiologis menyangkut aktualisasi ajaran Islam berdasarkan al-Qur’an,
al-Sunnah dan al-Salaf al-Shalih. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh
polemik Ibnu Taimiyah dengan berbagai praktek umat Islam, dan khususnya
kelompok sufi, yang telah melakukan berbagai praktek bid’ah.
Prinsip
di atas merupakan penegasan Ibnu Taimiyah dalam menghadapi berbagai pemikiran,
aliran dan tradisi yang telah menyimpang dari ketentuan syari’ah. Dan ia
mengembalikan semua itu kepada tiga landasan tersebut. Apakah ketiga prinsip
ini benar-benar baru dalam madzhab Ahmad Ibnu Hambal, nampaknya membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Yang jelas ketiga prinsip ini nampaknya sangat
diilhami oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan “lawan-lawan”nya.
Sementara
itu, pendekatan metodologis Ibnu Taimiyah mendasarkan premisnya pada penerapan
yang benar terhadap lima sumber pengetahuan bagi keyakinan dan amal perbuatan
yang diridhai Allah. Kelima sumber itu adalah: 1) al-Qur’an; 2) Sunnah Nabi; 3)
Perkataan dan perbuatan para sahabat Nabi; 4) Pendapat para Tabi’in; 5) Bahasa
Arab, yang merupakan bahasa agama (wahyu).
Prinsip
ini membentuk apa yang dipegang oleh Ibnu Taimiyah yaitu sebuah pandangan
komprehensif mengenai wahyu. Metodologi dan kepercayaan apapun yang berada di luar
wahyu tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Menurut prinsip ini, wahyu adalah
sumber yang lengkap dan mencukupi, sehingga semua persoalan-persoalan yang ada
harus dirujukkan kembali kepadanya. Wahyu merupakan sumber metodologi bagi hukum
dan pemikiran Islam. Diluar itu hanyalah kesesatan. Dalam alur pemikiran ini. Maka
wahyu menjadi titik sentral dimana pemikiran Islam berpijak. Dengan sifatnya
yang lengkap dan serba mencukupi, wahyu merupakan pusat dari epistemologi Islam.
Dari
ini kita akan menangkap kesan bahwa Ibnu Taimiyah mengecilkan kedudukan
sumber-sumber epistemologi yang lain selain wahyu, seperti akal dan intuisi,
yang dalam tradisi intelektual Islam klasik, sama-sama sah diakui sebagai
sumber pengetahuan manusia. Namun bila kita melihat fokus persoalan yang
menjadi perhatian utama Ibnu Taimiyah dalam kritik-kritiknya. Maka akan nampak bahwa
wahyu menjadi sumber utama pengetahuan manusia dalam persoalan-persoalan
keagamaan, khususnya menyangkut akidah dan ibadah.
Ibnu
Taimiyah memang sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Menurutnya,
ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan. Ia juga mengatakan, bahwa
ibadah merupakan tujuan puncak yang dicintai dan diridhai Allah atas manusia
yang karenanya ia diciptakan (QS. Al-Dzariyat: 56). Dan manusia baru bisa mencapai
kesempurnaannya dengan menjadi hamba (‘abd) Allah yang sejati.
Dalam
masalah ini Rasul telah memberikan penjelasan secara lengkap baik pokok maupun
cabangnya. Karena itu tidak diperlukan pemahaman rasional untuk memahaminya. Ibnu
Taimiyah mengkritik menggunakan akal dalam wilayah Ketuhanan, metafisika,
wahyu, kenabian, dan masalah eskatologis. Dalam wilayah ini kemampuan akal
terbatas, disinilah Ibnu Taimiyah sepaham dengan tokoh generasi sesudahnya,
seperti Ibnu Khuldun (sejarawan) dan Jalal al-Din al-Rumi (sufi) yang juga
meragukan akal di wilayah metafisika. Tegasnya, Ibnu Taimiyah menempatkan
supremasi wahyu di atas semua sumber-sumber epistemologi dalam wilayah agama.
Ibnu
Taimiyah tidak menolak akal an sich, tapi ia menolak
kesimpulan-kesimpulan akal yang bertentangan dengan wahyu, khususnya yang
menyangkut interpretasi spekulatif dan sufistik yang tingkat kebenarannya sulit
untuk diverifikasi. Di luar itu, ia mengakui validitas akal, misalnya dalam
pengetahuan sains empiris. Bahkan dalam bidang ini ia dikenal sebagai peletak
dasar pertama bagi sistem logika John Stuart Mill dan David Hume.
Akhirnya,
kepada orang-orang yang mengikuti prinsip ini, yaitu mengikuti al-Qur’an, al-Sunnah
dan salaf al-shalih, Ibnu Taimiyah menggolongkannya kepada ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Merekalah orang-orang yang sesungguhnya pantas
disebut golongan ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam Majmu’ al-Fatawa
Ibnu Taimiyah menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat
di kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik”. Ia juga mengatakan: “Barang siapa yang berkata dengan al-Qur’an, al-Sunnah
dan ijma’ al-salaf, maka dialah ahlu al-Sunnah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar