Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan untuk tafaqquh
fi al-din (memahami agama) dan membentuk moralitas umat melalui
pendidikan. Sampai sekarang, pesantren pada umumnya bertujuan untuk belajar
agama dan mencetak pribadi Muslim yang kaffah yang
melaksanakan ajaran Islam secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan tafaqquh fi al-din dan mencetak
kepribadian Muslim yang kaffah dalam melaksanakan ajaran Islam
didasarkan pada tuntunan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. dimana Nabi merupakan top
model dan guru imajener (meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud) bagi
pesantren. Tujuan ini adalah tujuan pokok dalam setiap pesantren yang merupakan
lembaga pendidikan Islam tradisional yang teguh menjaga tradisi ulama salaf
al-salih dan para wali yang diyakini bersumber dari Rasulullah Saw.
Dengan ini, maka Islam akan bertahan dan berkembang dalam masyarakat, khususnya
di Indonesia. Adapun mengenai tujuan khusus, masing-masing pesantren juga
mempunyai tujuan khusus tergantung dengan pengasuhnya. Misalnya tujuan mencetak
para huffadz (penghafal al-Qur’an), mencetak fuqaha’ (ahli
fiqhih), mencetak para ahli bahasa Arab, dan yang lainnya.
Dalam konteks ini pesantren memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan
tersebut adalah lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren.
Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan
pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program.
Mungkin kebutuhan terhadap ini relatif baru. Tidak adanya rumusan ini
disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada
proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh kiai atau bersama-sama para
pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya.
Malah pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah
pancaran kepribadian pendirinya. Maka tidak heran bila timbul anggapan bahwa
hampir semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.
Sepintas, teringat kutipan Imam Zarkasyi tentang tujuan pendidikan
yang dirumuskan sangat sederhana, “untuk menjadi orang”. Sebenarnya
istilah ini cukup familiar dikalangan masyarakat kita, khususnya orang-orang
tua, khususnya “orang-orang desa”. Ketika ditanya apa yang dicita-citakan atau
diharapkan dari anak-anak mereka, pada umumnya mereka menjawab: “Yang
penting jadi orang”. Hematnya, frasa ini memiliki makna yang sangat
mendalam. Maksud frasa itu adalah menjadi manusia yang benar-benar manusia, dan
bukan manusia yang seperti binatang. Apalah artinya memiiki ilmu segudang
tetapi tidak bermanfaat atau bahkan merugikan masyarakat. Padahal yang
diharapkan dari pendidikan adalah lahirnya sosok manusia yang paham akan jati
dirinya sebagai manusia, yaitu sebagai khalifah fi al-ardl.
Jika manusia sadar akan eksistensinya dan tanggung jawab dirinya
sebagai insan al-kamil yang bertugas menjadi the vice
of God (wakil Tuhan), ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan
orang lain. Pendek kata, tujuan pendidikan Islam adalah untuk melahirkan orang
yang berguna bagi masyarakat, bangsa, Negara dan agama. Persis dengan
jawaban siswa-siswa Sekolah Dasar, ketika ditanya cita-cita mereka. Ini
sesuai dengan impian Rasul bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat
bagi orang lain. Atau jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidaknya tidak
merugikan orang lain.
Dalam hal ini, kita tidak perlu repot-repot mencari contoh. Lihat
saja “tikus-tikus” kantor (pinjam istilah Iwan Fals) di negeri ini. Hampir
semuanya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan skiil tinggi.
Makanya mereka acapkali disebut dengan the white collar crime, penjahat kerah
putih. Tanpa kemampuan dan skiil yang baik, mereka tidak akan
bisa atau minimal tidak ahli dalam korupsi. Justru karena memiliki pengetahuan
dan skiil-lah, mereka cerdik dalam melakukan korupsi. Ini terjadi,
sekali lagi, karena dalam diri mereka tidak tertanam sikap dan prilaku yang
baik.
Sikap prilaku yang baik dalam Islam adalah sikap yang bersumber
dari al-Qur’an dan Hadist. Bukankan Nabi Saw. telah menegaskan; “Barang
siapa yang mengikuti (petunjuk) al-Qur’an dan hadist, Ia akan selamat.” Orang
yang mengikuti al-Qur’an dan hadits layak untuk mendapatkan gelar takwa, sebab
ia akan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah plus dihiasi dengan akhlak
al-karimah. Nabi Muhammad sendiri memang hadir untuk mengarahkan agar manusia
bersikap dan berprilaku baik; “Sesunggunya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak.” Allah juga menegaskan; “Sejatinya pada
diri Muhammad terdapat akhlak yang luar biasa.” Sebagai seorang
Muslim, kalau bukan al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang menjadi cerminan, lantas
apa dan siapa yang akan dijadikan panutan?
Bila disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian Muslim yang beriman dan
bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau
berkhidmad kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat
seperti Rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi
Muhammad Saw., mempu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam berkepribadian,
menyiarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah
masyarakat, dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian
Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang dituju adalah kepribadian
Muslim yang kaffah, bukan sekedar Muslim biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar