Minggu, 28 Februari 2010

Mahbub Djunaidi; Berjuang Lewat Pena

Dunia pers Indonesia tak akan bisa melupakan nama Mahbub Djunaidi yang pernah tiga kali memimpin organisasi kewartawanan, PWI, Mahbub juga dikenal sebagai pemikir NU
Ia lahir di Jakarta, 27 juli 1933, anak pasangan dari H. Djunaidi dan Ibu Muchsinati. Ayahnya sebagai Kepala Biro Peradilan Agama pada Kementerian Agama yang setiap awal ramadhan dan malam idul fitri mengumumkan hasil rukyah melalui radio. Mahbub Djunaidi, sebagaimana anak-anak Indonesia pada umumnya di zaman revolusi kemerdekaan, usia sekolahnya panjang. Dia baru duduk dikelas satu SMP menginjak usia 16 tahun, saat seharusnya menyelesaikan sekolah pertama. Usia 16 tahun itu bersamaan dengan waktu pemulihan kedaulatan RI dari Belanda tahun 1949.
Menginjak usia remaja, Mahbub Djunaidi bergabung ke dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU (saat itu), selagi masih duduk di SMA. Dia hadir di kongres pertama IPNU di Malang 1955 yang dibuka oleh Presiden RI Sukarno, di saat negeri ini beberapa bulan lagi akan menyelenggarakan pemungutan suara pemilu pertama.

Maulid Nabi Muhammad SAW dalam Tradisi

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan Saladin).
Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib.

Minggu, 21 Februari 2010

Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan

A. Pendahuluan
Memasuki abad ke 21 ini Indonesia dihadapkan pada masalah yang rumit seperti masalah reformasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, masalah krisis yang berkepanjangan dan hingga saat ini belum tuntas, masalah kebijakan makro pemerintah tentang sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberdayakan masyarakat. Kita juga menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).

Kamis, 18 Februari 2010

Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan Islam

Oleh: Coel Ipins



“Sistem pendidikan nasional di Indonesia masih mewarisi sistem kolonial. Perlu dilakukan perombakan total pada sistem pendidikan nasional agar bisa membentuk watak anak yang mandiri dan kreatif …”

 

Latar Belakang

Benarkah apa yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi di atas? Bila benar, apa sebenarnya yang masih diwarisi oleh sistem pendidikan nasional dari sistem pendidikan kolonial? Apa indikasinya? Dan yang terpenting, apa yang musti dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang carut marut itu? Perombakan total seperti apa — mengikuti saran Ajip — yang harus dilakukan?
Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih mendasar — yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Senin, 15 Februari 2010

Harapan dan Kehidupan

by ; Mr. Cholphak

Saya ingin memberikan pembicaraan singkat di salah satu motto Carolina Selatan. Seperti Anda semua tahu, South Carolina memiliki dua motto. "Dipersiapkan dalam pikiran dan sumber daya," adalah salah satu moto, moto yang lain adalah, "Sementara aku bernapas, saya berharap." Saya ingin mengucapkan beberapa kata di moto kedua, dari sudut pandang rohani.

Ego & Emosi

By ; Mr. Cholphak's 

Ego emosi dan emosi adalah ego. Ego dan emosi adalah bagian depan dan kebalikan dari mata uang yang sama. Ada dua jenis ego. Satu ego adalah mengikat diri, berpusat pada diri sendiri. Lain melampaui ego diri dan semua berpelukan. Berpusat pada diri ego harus berubah menjadi melampaui diri, semua merangkul dan Allah-memuaskan ego. Melampaui ego diri ini adalah pengetahuan tentang kesatuan, kesatuan yang tidak terpisahkan dengan yang tak terbatas, yang Kekal, yang mutlak dan abadi.
Di dunia ini manusia memiliki dua harta signifikan: kecerdasan dan emosi. Kedua harta hari ini mengatur kehidupan kita. Tapi sangat sering kita melihat bahwa emosi mendapatkan tangan atas dalam hidup kita. Kita tahu bahwa bahkan jika seseorang sangat cerdas, ketika emosi datang kedepan, hal itu akan melahapnya. Dia dipaksa untuk melakukan apa yang emosinya meminta dia untuk melakukan.