Selasa, 29 Januari 2013

IBNU TAIMIYAH: Sang Reformis Islam


Islam merupakan agama yang dianut oleh manusia dari berbagai latar belakang etnis, sosial dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai agama dengan klaim universal dan berhasil menjamah berbagai wilayah pusat-pusat kebudayaan kuno, ia telah menyerap berbagai warisan intelektual, nilai-nilai, literatur, dan berbagai tradisi yang dijumpainya. Dan hal ini telah terjadi tidak lama setelah satu abad Nabi Muhammad saw. wafat.
Islam telah berdialog dengan manusia dari berbagai latar belakang; ia dipahami, ditafsirkan dan diaktualisasikan sesuai dengan latar belakang tersebut. Ia menjadi agama yang terbuka untuk dipahami setiap orang. Al-Qur’an sebagai induk dari ajaran Islam telah dibaca, dipahami, dan ditafsirkan di bawah cahaya perbedaan ini, mulai dari interpretasi bahasa, interpretasi hukum, interpretasi filosofis hingga interpretasi sufistik. Bahkan al-Qur’an pun menjadi inspirasi bagi pengembangan sains dan teknologi di saat itu.

Sabtu, 26 Januari 2013

DAYA TAHAN DAN KONTINUITAS PESANTREN



Dunia pesantren, dengan meminjam istilah kerangka Hossein Nasr, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa dan tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum salaf, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Anehnya, istilah “salaf” juga digunakan oleh kalangan pesantren misalnya “pesantren salafiyah”. Walaupun dengan pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak belakang dengan pengertian umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan pesantren mengacu pada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktik Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawuf. Perbedaan pesantren dalam memahami pengertian “salaf” merupakan “Sistem Nilai di Pesantren dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”.

Sabtu, 19 Januari 2013

KEPEMIMPINAN PESANTREN


Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor pimpinan. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pimpinan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Stephen Covey,[1] bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah pada karakter.
Secara definisi, kepemimpinan memiliki berbagai perbedaan pada berbagai hal, namun demikian yang pasti ada dari definisi kepemimpinan adalah adanya satu proses dari kepemimpinan untuk memberikan pengaruh secara sosial kepada orang lain, sehingga orang lain tersebut menjalankan suatu proses sebagaimana diinginkan oleh pemimpin. Berbagai perbedaan definisi tersebut tentu saja karena dibangun oleh teori yang berbeda.

Kamis, 17 Januari 2013

KILAS PONDOK PESANTREN



Pondok pesantren[1] merupakan lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kyai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat lembaganya.[2] Lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous culture).[3] Maka, bukanlah kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai belahan dunia.
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi pendidikan yang mengajarkan agaman dan penekanan moral dipertanyakan. Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren ada dua macam. Pertama, mereka yang menyangsikan relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. Kedua, mereka yang justru melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[4]
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondokpesantren dalam hal ini; pertama, merevisi kurikulum  dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum.[5]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman akhlak al-karimah (moral) dan intelektual.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan; dewasa ini pendidikan Islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks. karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan dan semua itu mustahil tanpa manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini dilakukan tanpa perencanaan dan konsep yang matang seringkali berjalan apa adanya. alami dan tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yg kurang membanggakan.
Problematika yang dihadapi pondok pesantren dikarenakan adanya  kendala pada perencanaan pondok pesantren yang kurang optimal. sehingga dalam pelaksanaan fungsi tugasnya tdak berjalan sebagaimana yang diharapkan. juga  disebabkan  minimnya personil yang kompeten  pada  bidangnya,  dan  sumber  dana  kurang memadai.
Dalam penyusunan perencanaan program kerja hendaknya  diperhitungkan secara terperinci tentang kondisi obyektif pondok pesantren, pemasalahan, alternatif pemecahan, faktor pendukung dan penghambat program, prioritas pengembangan program, indikator keberhasilan dan langkah-langkah mencapai keberhasilan program, pengalokasian dan waktu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika perencanaan disusun dengan jelas dan bersifat terbuka serta rasional maka tujuan dapat mudah dicapai.


[1] Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut “pondok pesantren”. Lihat Mamfret Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta; P3M, tt), 116. Istilah “pondok” sendiri diambil dari bahasa Arab “funduk” yang berarti asrama atau hotel, sebab santri dalam belajar dengan cara mukim yang membutuhkan tempat tinggal sekaligus tempat belajar dalam jangka waktu yang lama. Lihat Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan HidupKyai, cet.VI, (Jakarta; LP3ES, 1994), 18
[2] Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, cet.V, (Jakarta; LP3ES, 1995), 87
[3] Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Adi Sasono, Didin Hafiduddin, AM. Saefuddin, dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat, cet.I, (Jakarta; Gema Insani Pers, 1998). 101-171
[4] Muhammad Busyro, Problem Pengembangan Tradisi Pesantren, dalam Abdul Munir Mulkham, Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek), (Yogyakarta; Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998), 186-199
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 102

Senin, 14 Januari 2013

SEJARAH PERADABAN ISLAM II (Resume)



A.  PENDAHULUAN
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadhārah al-Islāmiyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam dalam dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqāfah. Di Indonesia sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab, al-Tsaqāfah; Inggris, culture) dan beradaban (Arab, al-Hadhārah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan, kebudayaan  adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dlam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bias dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Bukan saja karena persoalan-persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu seperti yang terlihat di buku karya Dr. Badri Yatim, M.A., tapi terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek penting dari peradaban, sebagaimana disebutkan di atas, karena itulah uraian dalam sejarah politik Islam sangat dominan seperti sistem pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan dan seni bangunan.

Potret Pesantren dalam Lintas Sejarah


Dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah “mendarah daging” di Indonesia. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13–17 M, dan di Jawa pada abad ke 15–16 M. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.[1]
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M,[2] kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini. Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syech Nawawi al-Banteni, Syaichona Muhammad Kholil, dan Hadratus Syaich Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.