Rabu, 13 Juli 2011

MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN (Studi di PP. MUBA, Pamekasan)

A.     Latar Belakang Masalah
Dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah “mendarah daging” di Indonesia. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13-17 M, dan di Jawa pada abad ke 15-16 M. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M,[1] kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini. Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syekh Nawawi al-BantenĂ®, Syaichona Muhammad Kholil, dan KH. Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.