Sejujurnya, saya tidak terlalu biasa menulis
tentang perempuan secara vulgar, apalagi menyangkut dunia perasaan yang
menyayat, ritme tangis yang menusuk, nestapa keputusasaan yang
menyentak-nyentak naluri maupun menunggu sesuatu dalam ketidak pastian. Saya
tidak terbiasa, karena dalam nalar kelelakian yang sejati, kita sering
dihadapkan pada kondisi psikologi perempuan yang kadang memang paradoks. Dan
ketika paradoksalitas itu kian kentara, yang muncul dihadapan kita hanyalah
anomali-anomali dan term-term lain yang menjebak pada labirin. Ya,
paradoksalitas ini saya temukan pada diri seorang Rhensi.
Sedikit kisah tentang paradoksalitas itu, yang saya tangkap dalam lembar hidup seorang perempuan bernama Rhensi, perempuan supel dan ”lincah”. Saya tidak terlalu jauh mengenalnya, hanya sebatas komunikasi via dunia maya saja. Bagi saya cukup dengan hanya melihat dan merasa dengan imajinasiku sesuai dengan yang sayan ketahui, meski bukan seorang psikolog, saya yakin bahwa dia sedang ”terluka”. Luka yang dibiarkan terus-menerus menganga, nelangsa dalam keterasingan yang panjang dan melelahkan. Ya, dia sebenaranya sedang terasing dengan dirinya sendiri. Sedang berusaha untuk keluar dari himpitan nyeri yang kerap mengungkungnya.
Seuntai kata saya ingat akan pentingnya saya
mengutip dan menuangkan dalam sebuah catatan usang ini, ketika saya tanya
tentang langkah selanjutnya yang akan ia lakukan, spontan ia berujar; ”gak tau mesti ngomong apa....” Saya diam tak bergeming. Memikirkannya dengan penuh
ketakmengertian dan penuh kebingungan. Sayapun hanya bisa menghela nafas
dalam-dalam dan muncul rasa iba akan dirinya.
Mendengar pengakuannya yang ”sangat-sangat
jujur” sekalipun ia menjawab dengan apa adanya mungkin disebabkan karena sudah
tidak tahu lagi apa yang akan dijadikan argumentasi yang meyakinkan, saya sama
sekali tak terkejut. Jujur menyampaikan ketidakjujuran diri sendiri adalah hal
yang sangat langka. Saya berani acungkan dua jempol untuk kejujurannya. Dan
sekilas saya ingat ceritanya yang mengalir tanpa hambatan apapun sejak
pertama saya komunikasi, bahkan hal-hal yang menurut mainstream umum tidak layak dibicarakan. Tapi, apa hak saya melarangnya berbicara,
mengeluarkan gumpalan kekecewaan yang memmuncak di hatinya? Sekalipun
keyakinanku masih tersisa dan merasa masih ada sesuatu yang lebih wah yang
belum sempat ia sampaikan.
Seketika otak jailku kambuh dan sekalian saya
usilin dengan bahasa basa-basi. Dan ternyata ia sedang memanjakan dirinya nyalon, ”Saya lagi di Hair Spa..!!” Katanya manja. Saya masih juga diam. Otakku mulai
bekerja; ada apa sebenarnya dalam logika perempuan? Ahai... gerangan apakah
yang sedang terjadi? Disinilah menurut saya letak keunikan kondisi psikologis
Rhensi, seorang perempuan yang sadar tapi tidak menyadari, paham tapi tidak
memahami. Bukankah manusia memang makhluk yang penuh paradoks? Tak ada poin
apapun ketika kita berusaha mengingatkan orang yang tidak lupa, berusaha
menyadarkan orang yang tidak gila dan membangunkan orang yang tidak dalam
keadaan tidur.
Maka, saya teringat apa yang pernah dikatakan
Sigmund Frued, tokoh psikoanalisis itu, bahwa manusia secara naluriah memang
memiliki alter ego.
Bukankha kita sering memiliki seribu wajah? Dan, bagi saya Rhensi sedang
menampakkan wajah yang lain. Raut yang ceria meski jiwanya terluka, wajah yang
dipaksa untuk tetap tersenyum dalam jerat penantian tanpa ujung (gantung;
pinjam istilah Melly G). Siapa yang sanggup menelan luka saat jiwa kian renta?
Disinilah letak ketegaran seorang Rhensi, teman
maya saya itu. Tegar dalam keterpurukan yang menghunjam. Saya sama sekali tak
menganggap bahwa ia adalah perempuan amoral, bejat, asusila dan stigma-stigma
buruk lainnya. Bagi saya, Rhensi adalah diri Rhensi seutuhnya. Dan saya
berharap, semoga ia tidak tersinggung tatkala membaca catatan tak berarti ini.
Tak ada maksud apapun, kecuali bahwa kita perlu belajar pada segala sesuatu
yang telah terjadi, belajar pada orang lain dan diri sendiri. Bukankah
dialektika antara baik-buruk, kaya-msikin, hitam-putih adalah keniscayaan
hidup? Dan disinilah konseptualisasi amar-ma’ruf dan nahi-mungkar menemukan titik implikasi logisnya dalam menata
perjalanan hidup ini. Dan disini pulalah, ajaran kerendahan hati menemukan
kesejatiannya; bahwa tak ada sesuatu apapun yang benar-benar sempurna, kecuali
Tuhan.
Maka, sejatinya kita tak perlu malu karena
pernah menyandang gelar-gelar buruk. Kita tak perlu berkecil hati, apalagi
meratapi diri. Kita tak perlu malu pada manusia, karena bukan mereka yang
memberi kita makan, yang memberikan kita hidup. Tapi malulah pada diri sendiri,
malu pada Tuhan tatkala kita tak pernah berusaha memperbaiki diri dan menjadi
lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar