Islam
merupakan agama yang dianut oleh manusia dari berbagai latar belakang etnis,
sosial dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai agama dengan klaim universal dan
berhasil menjamah berbagai wilayah pusat-pusat kebudayaan kuno, ia telah
menyerap berbagai warisan intelektual, nilai-nilai, literatur, dan berbagai
tradisi yang dijumpainya. Dan hal ini telah terjadi tidak lama setelah satu
abad Nabi Muhammad saw. wafat.
Islam
telah berdialog dengan manusia dari berbagai latar belakang; ia dipahami,
ditafsirkan dan diaktualisasikan sesuai dengan latar belakang tersebut. Ia
menjadi agama yang terbuka untuk dipahami setiap orang. Al-Qur’an sebagai induk
dari ajaran Islam telah dibaca, dipahami, dan ditafsirkan di bawah cahaya
perbedaan ini, mulai dari interpretasi bahasa, interpretasi hukum, interpretasi
filosofis hingga interpretasi sufistik. Bahkan al-Qur’an pun menjadi inspirasi
bagi pengembangan sains dan teknologi di saat itu.
Hasilnya
sungguh luar biasa. Islam tidak hanya menjadi sebuah agama yang dianut oleh
jutaan umat manusia, tapi juga menjelma menjadi sebuah peradaban besar yang
mampu merangkum seluruh karya cipta umat manusia. Hossein Nashr, mengatakan;
“Islam tidak hanya merupakan sebuah agama, Islam juga merupakan pencipta dan
semangat yang hidup dari sebuah peradaban utama dunia dengan sejarah panjang
selama 14 abad”. Sejarah Islam menunjukkan keberadaan manusia dari beragam
wilayah, dari Afrika Utara hingga Malaysia. Ia menunjukkan penciptaan imperium
besar dan terintegrasi ke dalam tatanan masyarakat yang satu dari
bermacam-macam kelompok etnis dan bahasa. Islam telah menciptakan sebuah
peradaban di tengah-tengah wilayah
kebudayaan-kebudayaan kuno selama lebih dari satu mellinium. Peradaban ini
menghasilkan sejumlah figure intelektual, seni dan arsitektur, pencapaian sains
dan teknologi yang mengagumkan, dan sebuah tatanan sosial yang berdasarkan
ajaran al-Qur’an.
Namun,
untuk mencapai berbagai prestasi ini bukanlah tanpa resiko. Betapa pun umat
Islam berhasil menyerap dan melakukan sintesis kreatif antara Islam dengan
khazanah kebudayaan lainnya, sehingga menciptakan berbagai kemajuan yang sangat
signifikan, namun terdapat bahaya yang dapat menggiring mereka kepada berbagai
penyimpangan-penyimpangan yang terlalu jauh dari ajaran Islam. Berbagai pemikiran,
kepercayaan, dan praktek-praktek keagamaan sebagaimana terdapat dalam
aliran-aliran dan madzhab-madzhab, Nampak begitu bebas tak terkendali dan tidak
jarang menimbulkan polemik dan konfrontasi tajam satu sama lain. Apalagi bila
sudah berafiliasi dengan kekuasaan politik. Pada gilirannya hal ini membawa
umat Islam kepada berbagai krisis baik intelektual, agama, sosial, dan politik.
Fazlur
Rahman, mengatakan; “Dari abad ke 2 H/8 M hingga 4 H/10 M, serangkaian krisis
intelektual dan cultural timbul dalam
Islam, yang paling serius dan signifikan adalah yang dihadapkan oleh
intelektualisme Hellenis. Tetapi tantangan-tantangan tersebut dihadapi Islam
dengan berhasil baik dengan cara berasimilasi, menolak maupun menyesuaikan
dirinya dengan aliran-aliran yang baru tersebut. Namun pada waktu itu, kaum
Muslimin secara psikologis adalah tak terkalahkan, secara politik adalah
penguasa situasi, dan dalam kandungan agamanya tidak dibebani oleh tradisi yang
mati”.
Namun
sejak keruntuhan Baghdad oleh serangan Mongol pada tahun 1258 M, kekuatan umat
Islam telah terpecah dan terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling
bersaing dan bertikai, yang justru semakin melemahkan kekuatan mereka.
Sementara itu, tradisi intelektual yang telah dibangun sebelumnya telah kehilangan
dinamikanya dan membeku menjadi tradisi yang mati. Dinamika ini terhenti
melalui penutupan pintu ijtihad, dan membawa umat Islam pada taklid. Umat Islam
berada pada pemikiran fatalisme, menggantikan kebebasan berpikir dan bertindak.
Di
masa inilah Ibnu Taimiyah hidup, yaitu ketika umat Islam berada dalam krisis
keagamaan, soial dan politik. Dan sebagai respon atas berbagai krisis di akhir
abad ke 13 M dan awal abad ke 14 M tersebut, Ibnu Taimiyah mendapatkan
kebangkitan masyarakat Islam berdasarkan pada sebuah model yang ia yakini
sebagai masyarakat Muslim yang masih murni di masa Nabi dan sahabatnya (Salaf
al-Shalih), namun upayanya untuk kebangkitan masyarakat Islam tidak hanya
bertujuan pada reformasi sosial dan politik, ia juga menjangkau kebangkitan dari
dalam komponen-komponen spiritual Islam. Ia percaya bahwa reformasi internal
harus dilakukan terlebih dahulu sebelum reformasi keluar. Pandangannya ini
membawanya kepada konflik dengan para
teolog (mutakallimin), filosof dan mistik sufi, yang dituduhnya
menyimpang dari Islam yang murni dari ajaran Nabi dan al-Qur’an, dengan
mengadopsi sistem kepercayaan non-Islami yang secara khusus adalah logika dan
filsafat Yunani.
Jika
Abu Hamid al-Ghazali merupakan representasi kekuatan yang mencoba melakukan
sintesis besar dalam karangka syari’ah, sehingga sistemnya diterima oleh
mayoritas umat Islam dan mampu menciptakan integrasi umat Islam, maka hal itu
terjadi di saat umat Islam masih berada pada puncak kegairahan intelektual dan
spiritual; sementara Ibnu Taimiyah berada dalam posisi sebaliknya. Ia hidup di
masa ketika umat Islam tengah mengalami kejumudan dan kebekuan dari tradisi
yang kaku, yang dalam banyak hal mengandung praktek-praktek yang menyimpang
dari syari’ah atau disebut bid’ah. Karena itu program Ibnu Taimiyah
berbeda dengan al-Ghazali, yaitu seperti disebut Fazlur Rahman, berupa restatement
syari’ah dan mempertahankan nilai-nilai agama.
Di
sinilah Ibnu Taimiyah tampil sebagai kritikus ulung terhadap berbagai tradisi
yang telah menyimpang dari salaf al-shalih. Ibnu Taimiyah merupakan
pengikut ajaran Ahmad bin Hambal, dan merupakan tipikal representasi dari sayap
kanan ortodok. Objek yang segera mendapat kritik yang amat tajam darinya adalah
sufisme dan para pengikutnya. Ia pun tiddak kalah semangatnya melawan
pemikiran-pemikiran para filosof, dan juga terhadap esoterisisme Syi’ah secara
umum dan Islamiyah secara khusus.
Dengan
penafsiran literal atas teks-teks syariah, sebuah langkah yang sangat logis
untuk mengembalikan semua ke pokok asalnya. Ibnu Taimiyah mendekontruksi semua
wacana keagamaan yang berkembang saat itu. Tentu saja reaksi keras berdatangan
dari semua pihak yang diserangnya, dan menjadikannya sebagai tokoh yang sangat
kontroversial. Namun Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang jujur dan jauh dari
fanatisme golongan. Semua pendapat dari golongan manapun yang lebih dekat
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah ia akui kebenarannya. Ia tidak segan-segan untuk
mengatakan, seperti bahwa dalam hal pemikiran Mu’tazilah ada benarnya. Ini
menunjukkan bahwa dalam pendiriannya, kebenaran bisa terdapat dari golongan
yang mana saja. Ibnu Taimiyah memiliki sikap yang terbuka terhadap semua
pendapat dan memberikan pernyataan bahwa kebenaran tidaklah menjadi milik satu
golongan saja, tetapi bisa berada diantara semua golongan.
Reformasi
Ibnu Taimiyah tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, tetapi juga memiliki
tujuan reformasi sosial. Sikap penentangan Ibnu Taimiyah terhadap fatalisme misalnya,
merupakan bagian dari perjuangannya untuk melawan ketidak adilan sosial. Ia percaya
bahwa tujuan dari semua wahyu adalah membimbing manusia dalam menegakkan
keadilan dan menolak kekerasan. Dan ini merupakan tugas dimana seluruh umat
Islam harus bekerja sama. Dalam mendiskusikan tujuan ini, Ibnu Taimiyah
megangkat dua isu yang kelak menjadi tema utama gerakan reformasi Islam di masa
modern;
1. Penolakan
terhadap fatalisme, bersikap pasif terhadap ketidak adilan, dan menyerahkan pada
perantara orang-orang suci daripada mengambil tanggung jawab dalam masyarakat. Bagi
Ibnu Taimiyah determinisme lebih buruk daripada bid’ah, sebab hal itu
membuat tidak ada artinya janji Tuhan atas amal saleh dan adzab bagi perbuatan
dosa.
2. Reformasi Islam
yang ditekankan Ibnu Taimiyah adalah kebutuhan untuk menjaga fleksibilitas hukum
Islam melalui ijtihad. Ia berpendapat bahwa ijtihad harus tetap aktif, kalau
tidak hukum Islam akan menjadi tidak relefan.
Tema-tema
itulah yang membuat Ibnu Taimiyah di hargai oleh para pengamat modern dan
menjadi inspirasi bagi sejumlah pemikiran-pemikiran modernisme mulai abad ke
20, khususnya karena semangatnya untuk membuka kembali pintu ijtihad, yang
kemudian menjadi tema utama bagi pembaruan pemikiran Islam. Meskipun demikian,
Ibnu Taimiyah juga diletakkan dengan metodologinya yang literalistik dalam
memahami nash, serta sikap tegasnya terhadap taqlid dan bid’ah
yang membuatnya dipandang sinis oleh banyak kalangan tradisionalis.
Ibnu
Taimiyah memang menolak penalaran rasional atas nash, kecuali terhadap
persoalan-persoalan yang secara tidak langsung disebutkan oleh nash. Ini
adalah medan ijtihad yang membutuhkan pemecahan rasional, yaitu bidang muamalah
yang amat luas. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menekankan pada aspek maslahat dan menegaskan
bahwa syari’ah bersifat lengkap pada dirinya sendiri dan dapat diadaptasikan di
setiap masa oleh para faqih sesuai dengan prinsip kemaslahatan (al-maslahah).
Barangkali inilah tantangan utama Ibnu Taimiyah kepada semua audiensinya, yaitu
agar berinovasi dan menggunakan nalar dalam bidang-bidang muamalah, bukan dalam
bidang-bidang pokok keagamaan. Bukankah kritikan pedas Ibnu Taimiyah terhadap
praktek bid’ah hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.
Untuk
memahami semangat Ibnu Taimiyah inilah maka diperlukan pembahasan yang objektif
agar bisa melihat sisi mana dari pemikirannya
yang bersifat tegas dan tanpa kompromi dan di sisi mana yang menerima
fleksibilitas dan perubahan melalui ijtihad (sisi ideal yang bersifat tetap dan
sisi sosio-historis yang bersifat dinamis). Sebab dalam pemikiran Ibnu Taimiyah
terkandung kedua sisi tersebut, yang sayangnya lebih ditonjolkan sisi yang
pertama sehingga menampakkan wajah Ibnu Taimiyah sebagai sosok yang kaku, keras
dan hanya mengedepankan formalisme beragama. Untuk itu kita perlu memahami
prinsip dan metodologi Ibnu Taimiyah serta ruang lingkup pemikirannya yang
demikian luas sehingga dapat memandang pemikiran tokoh ini secara utuh.
Begitu
besar kontribusi Ibnu Taimiyah bagi pengembangan tradisi intelektual Islam pada
khususnya dan bagi gerakan kebangkitan Islam pada umumnya. Wa Allahu A’lamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar