Rabu, 23 Desember 2009

Kepulauan Masalembu


By ; Coel Ipins 19

Masalembu adalah pulau terbesar di Kepulauan Masalembu, yakni di Laut Jawa. Pulau ini berada di bagian selatan Kepulauan Masalembu. Secara administratif, Pulau Masalembu (bersama pulau-pulau lainnya di Kepulauan Masalembu) termasuk wilayah Kecamatan Masalembu di wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pulau Masalembu merupakan pusat pemerintahan di Kecamatan Masalembu. Penduduk Pulau Masalembu merupakan campuran berbagai etnis, termasuk Suku Madura dan Suku Bugis. Di Pulau Masalembu terdapat fasilitas pendidikan hingga tingkat SMA.

Riwayat Hidup Adnan Oktar (Harun Yahya)


By ; Ipins 19

Adnan Oktar dikenal sebagai seorang penulis dengan nama pena “Harun Yahya”. Beliau adalah seorang ‘alim yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berdakwah tentang keberadaan dan keesaan Allah dan keluhuran akhlaq Al Qur’an kepada masyarakat. Berawal ketika masih duduk di bangku universitas, beliau telah menggunakan setiap saat dalam hidupnya demi dakwah ini dan tidak pernah takut berhadapan dengan segala kesulitan yang merintangi jalan. Hingga kini, beliau tetap berdiri kokoh, tegar dan sabar dalam menghadapi segala tekanan dan fitnahan. Di bawah ini adalah sedikit dari perjalanan hidup Adnan Oktar, yan g juga dikenal dengan nama pena Harun Yahya.
dnan Oktar dilahirkan pada tahun 1956 di Ankara dan dibesarkan di kota ini hingga lulus SMU. Komitment beliau terhadap Islam tumbuh semakin kuat ketika beliau duduk di bangku SMU. Pada periode ini, pengetahuan yang mendalam tentang Islam beliau dapatkan dari membaca berbagai buku-buku agama. Di samping itu, beliau juga memperoleh pemahaman tentang fakta-fakta penting lain yang kemudian beliau beritahukan kepada orang-orang di sekitarnya. Pada tahun 1979, Adnan Oktar pindah ke Istanbul untuk menuntut ilmu di Universitas Mimar Sinan. Di masa inilah beliau mulai melaksanakan misi dakwah, menyeru manusia kepada akhlaq yang baik dan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

Minggu, 20 Desember 2009

Kekuatan dibalik kelemahan

By ; Ipins 19

Dalam kehidupan keseharian kita, seringkali kita menemukan orang-orang yang memiliki kelemahan dan keterbatasan fisik berada di sekitar kita. Terkadang kita menemukannya di emperan-emperan kaki lima, di pintu masuk supermarket, di jembatan penyeberangan, di trotoar, di lampu merah, di stasiun kereta, di stasiun pengisian bahan bakar, dan masih banyak lagi tempat lainnya.
Diantara sekian banyak orang-orang yang memiliki keterbatasan secara fisik, secara umum mereka terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang menyerah dengan keterbatasn fisik yang mereka alami. Mereka yang terus menyesalkan mengapa mereka memiliki kelemahan di dalam diri mereka. Mereka yang terus larut di dalam kekecewaan, menyesali hidup dan terus menyalahkan diri sendiri dan bahkan menyalahkan Sang Pencipta atas keterbatasan fisik yang mereka alami. Implikasi dari hal ini semua, mereka menjadi orang-orang yang lemah yang hanya meratapi nasib dan tidak memiliki daya juang yang tinggi dalam hidup mereka. Golongan seperti inilah yang memenuhi tempat-tempat umum untuk menjadi peminta-minta, memelas iba dari setiap orang demi menyambung hidup mereka dari hari ke hari.

Jumat, 18 Desember 2009

Menyambut Tahun Baru Hijiriah yang Salah Kapra


By ; Ipins 19

Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.



Selasa, 15 Desember 2009

Kecewa ?

By ; Ipins 19

Setiap orang pasti pernah mengalami kecewa dalam hidupnya. Entah kecewa dengan orang tua, saudara, pasangan hidup, kekasih, teman. Baik itu mengalami keadaan yang tidak mengenakan di rumah, sekolah, tempat kerja atau usaha atau dimanapun anda berada. Mengalami kekecewaan, gue rasa semua orang ngga ada yang mau mengalami hal beginian. Mau marah, protes atau ngumpat-ngumpat, kadang-kadang tetap saja tidak bisa merubah keadaan. Kadang bikin hati tambah sakit dan kepala tambah pusing kalau memikirkannya.

Minggu, 15 November 2009

Sendiri & Sedih

By; Ipins 19


Terus melangkah tanpa arah
Harus mengalah dan mengaku kalah
Lelah

Jalan sendiri
Mencari arti dan pasti
Sepi

Namun masih ada hati
Dan semoga esok masih akan ada hari
Hingga takkan lagi
Sedih

Kamis, 12 November 2009

Menggapai Ketenangan Jiwa


By ; Ipins 19

Dalam perkembangan hidupnya, manusia seringkali berhadapan dengan berbagai masalah yang mengatasinya berat. Akibatnya timbul kecemasan, ketakutan dan ketidaktenangan, bahkan tidak sedikit manusia yang akhirnya kalap sehingga melakukan tindakan-tindakan yang semula dianggap tidak mungkin dilakukannya, baik melakukan kejahatan terhadap orang lain seperti banyak terjadi kes-kes pembunuhan termasuk pembunuhan terhadap anggota keluarga sendiri maupun melakukan kejahatan terhadap diri sendiri seperti meminum minuman keras dan ubat-ubat terlarang hingga tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian jiwa sangat diperlukan dalam hidup ini yang terasa kian berat dihadapinya. Itu sebabnya, setiap orang ingin memiliki ketenangan jiwa. Dengan jiwa yang tenang kehidupan ini dapat dijalani secara teratur dan benar sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa menggapai ketenangan jiwa, banyak orang yang mencapainya dengan cara-cara yang tidak Islami, sehingga bukan ketenangan jiwa yang didapat tapi malah membawa kecelaruan dalam jiwanya itu. Untuk itu, secara tersurat, Al-Quran menyebutkan beberapa cara praktis.

Selasa, 10 November 2009

Refleksi Hari Pahlawan ; Ironi Kepahlawanan dalam Aktualisasi Mahasiswa



By ; Ipins 19

Refleksi Hari Pahlawan juga dapat dikaitkan dengan eksistensi mahasiswa. Sebab, mahasiswa dan patriotisme menjadi satu-kesatuan.
Patriotisme adalah perasaan cinta yang kuat terhadap tanah air. Setiap orang sudah dianugerahi rasa patriot. Rasa patriot itu dijadikan oleh setiap orang untuk menjalankan amanat. Cinta tanah air ini sudah pasti wujud di hati setiap individu masyarakat Indonesia yang berdaulat dan merdeka dalam usaha mencapai matlamat dan aspirasi negara.


Medan Perjuangan Sebelum Jadi Mahasiswa

Tidak dapat diingkari bahwa pada zaman penjajahan, para pemuda berjuang sangat keras dan gigih bersemangat tidak takut mengorbankan harta bahkan nyawa demi Negara dan bangsanya. Tatkala mereka berhasil memerdekakan bangsa, maka sangat wajar kalau diberi gelar pahlawan. Baik yang gugur maupun yang sempat menikmati zaman kemerdekaan. Atas jasa mereka menghancurkan dan mengusir penjajah, bisa hidup dalam negara yang diimpikan. Bebas dari belenggu penjajahan baik fisik maupun mental.

Tiap zaman menciptakan pahlawan. Mungkin hanya musuh dan medan perangnya yang berbeda. Namun nilai perjuangannya tetap sama. Anak-anak sekarang juga berjuang sangat keras menghadapi musuh yang bentuk serta wilayah yang sangat luas. Pertarungan satu lawan satu atau tawuran pada setiap waktu dan kesempatan. Tidak ada detik dan menit yang terlewat. Sehingga wajar bila seseorang yang berhasil tamat SMU dan masih tetap jadi anak baik sesuai dengan harapan orang tuanya, juga diberi gelar pahlawan.

Anak sekarang mulai dari bayi sudah menghadapi perjuangan keras. Musuhnya sangat banyak dan bisa berada di mana dan bentuk apa saja. Sebahagian besar bahkan berbahaya dan mematikan. Sang bayi harus berhadapan dengan keinginan ibunya untuk menambah pendapatan keluarga atau ingin tetap cantik dalam memperebutkan ASI. Makanan susu kaleng dihidangkan tanpa anak mampu membantah, padahal memiliki kandungan racun yang mematikan.

Kala sang anak mula bermain. Berlapis musuh sudah menghadang. Permainan elektronik yang mempengaruhi syaraf dan pikiran datang bertubi menyerang, baik dari internal (orang tua) maupun eksternal (lingkungan). Sebagian orang tua bahkan berada pada posisi sang musuh. Makin besar sang anak, musuhpun semakin banyak. Posisi orang tua dan guru sebagai pendidik dan pengajar sebagian direbut oleh media tontonan yang tak pantas menjadi tontonan dan tuntunan.

Bertambah dewasa, remaja menghadapi musuh hampir di seantero sudut hidupnya. Interaksi dengan dunia luar yang melibatkan fisik maupun visual bukan serangan yang enteng. Terjajah atau merdeka. Bagi yang dilengkapi fasilitas cukup, tetap di rumah atau menyendiri dalam ruangan juga sama bahayanya dengan bergaul tak jelas di luar rumah. Kekerasan di dunia nyata tidak lebih berat dari kekerasan dunia maya.

Unjuk rasa itu merupakan ciri negatif yang melekat pada mahasiswa. Sukarno menyatakan dapat mengubah dunia bila diberikan sepuluh pemuda. Peran untuk mahasiswa untuk mengubah suatu keadaan di negara manapun memang sangat signifikan. Unjuk rasa merupakan protes yang dilakukan secara massal yang istilah sekarang disebut demonstrasi. Unjuk rasa sebenarnya merupakan salah satu cara untuk menyampaikan pendapat, dan jelas bukan merupakan cara untuk melepaskan kemarahan, kegeraman, kegusaran, atau unjuk kekuatan fisik. Hal ini dilakukan bila jalur komunikasi sudah tidak lagi terjalin dengan baik. Demonstrasi juga bisa hanya sekadar mencari perhatian, meningkatkan nilai tawar atau memang untuk menekan pihak yang didemonstrasikan.

Demonstrasi yang baik biasanya memiliki isu yang akan dikomunikasikan sebagai tema perjuangan. Tujuannya dipahami para demonstran dan perilaku peserta mampu dikordinir dengan baik. Setiap demonstran harus bisa menjawab tujuan melakukan demonstrasi, pesan apa yang akan disampaikan, siapa yang jadi target penerima pesan, apa yang ingin dicapai, mengapa ikut sebagai demonstran dan apa dukungan atau simpati yang akan digalang dari masyarakat.

Fakta juga menunjukkan bahwa kreadibilitas dan nilai perjuangan yang disampaikan pada suatu demonstrasi dapat melorot bila para demonstran tidak tahu tujuan demonstrasi secara jelas. Istilah demonstran bayaran, demonstran pesanan, demonstran zomnie mulai meluncurkan citra suatu "episode" demonstrasi pada sebagian besar bangsa kita saat ini.

Kekerasan dalam Demonstrasi & Unjuk Rasa

Karena ada dua pihak yang berseberangan, maka  hampir di setiap unjuk rasa akan ada perbenturan. Perbenturan sebenarnya bisa dihindari kalau kedua belah pihak tetap mengemukakan akal sehat. Bila tidak, perbuatan anarkis dan premanisme akan terjadi. Tidak ada lagi beda rasional dan emosional, konstruktif dan destruktif, orang tua dan anak-anak, budi pekerti dan kezaliman.

Ada pernyataan yang menanggapi negatif masalah demonstrasi akhir-akhir ini. Zaman dulu juga ada demonstrasi, tapi tidak sebrutal sekarang. Demonstrasi dulu terorganisir dengan rapi, berwibawa karena tujuan dan pesan jelas dan mendapat dukungan dari masyarakat luas. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini terkesan kurang terkelola dengan baik, struktur organisasi tidak jelas, ikatan sesama demonstran kurang kuat, tujuan tidak dipahami atau belum disepakati bersama, tidak memicu perilaku anarkis, maka para demonstran akan bingung. Dalam situasi "rusuh" mereka tidak tahu berbuat apa. Dapat saja terjadi benturan sesama demonstran, atau antara demonstran dengan masyarakat umum. Dalam situasi tidak terkendali, sifat agresif akan muncul. Tindakan anarkis dan destruktif akan terjadi berskala naik seperti memaki, melempar, membakar, menghancurkan. Korbannya tentu saja fasilitas di lokasi target baik milik pribadi maupun umum. Artinya, cara penyampaiannya yang tidak baik.

Bila dilihat dari segi pelakunya, perilaku anarkis dalam berdemonstrasi bila saja hanya sebagai perwujudan frustasi atau munculnya sikap alam bawah sadar pelaku demonstrasi selama ini terpendam dalam. Perjuangan berat sedari bayi hingga melewati masa remaja yang selama ini merupakan diorama dan terpatri dalam hati, akan kebangkitan dalam gejolak massa. Jadilah demonstrasi sebagai pelampiasan kegeraman atau perlawanan. Apalagi media massa cetak dan elektronik juga selalu menampilkan perilaku kekerasan atau contoh langsung kerumunan massa yang berbuat anarkis.

Bergabunglah kelompok kaum frustasi dan yang telah atau merasa terzalimi. Bergabunglah kelompok yang ingin menyampaikan pesan untuk mencapai tujuan dengan kelompok yang tersulut emosi. Mungkin juga ada yang coba memunculkan jati diri palsu yang jadi obsesinya karena dipupuk kondisi lingkungannya. Menyatulah rasa perlawanan atas kekalahan yang selalu mewarnai kehidupannya dalam persaingan demi persaingan setiap episode hidupnya selama ini.

Demonstrasi dengan kekerasan biasanya dipicu semangat kebersamaan semu. Merasa memiliki identitas yang sama karena bergerak bersama. Merasa akan tersisih dari kelompok bila tidak berbuat bersama, atau merasa pahlawan bila bisa berbuat lebih hebat dari yang lain.

Jadi pemimpin di masa mendatang tidak mudah. Pada era komunikasi dan masyarakat makin melek informasi serta menjunjung nilai demokrasi, unjuk rasa dapat saja jadi budaya bangsa.

SYUKUR ; Sebuah Renungan


 By ; Ipins 19

bersyukurlah ketika engkau sakit
karena sakit itu akan menyadarkan mu tentang nikmatnya sehat
bersyukurlah engkau ketika engkau lapar
karena engkau telah merasakan bagaimana sedih dan susahnya orang lapar
bersyukurlah engkau jika engkau miskin
karena Tuhan telah memberimu anugerah untuk dapat merasakan penderitaan sesama

bersyukurlah jika engkau adalah orang bodoh
karena kepintaran bisa membuat mu membodohi orang lain
bersyukurlah engkau ketika engkau mendapat masalah
karena engkau dapat belajar menyelesaikannya
bersyukurlah engkau ketika cinta mu gagal
karena kegagalan cinta akan membuat mu mengerti tentang kesucian cinta
bersyukurlah engkau jika engkau mati
karena Tuhan telah melepaskan mu dari segala kemaksiatan dunia

sadarilah !!! bahwa kekurangan itu adalah suatu anugerah
dan sadarilah bahwa kekurangan itu suatu kenikmatan luar biasa yang Tuhan berikan
abadilah di dunia dan akhirat atas orang yang selalu mensyukuri kekurangan dirinya
TUHAN...semoga itu terjadi padaku dan pada semua orang-orang yang ku cintai.

Jumat, 06 November 2009

Penyesalan ; Sesuatu yang Indah

By ; ipins

Hidup bukan sebuah perjalan tanpa arti. Hidup adalah sebuah ritme yang silih berganti, saling bertautan antar waktu, dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk di dunia yang lebih kekal kelak. Berkaitan dengan waktu, hidup memberi banyak masa indah dan suram. Semuanya terangkum menjadi satu dalam folder ingatan yang disebut "kenangan". Sebuah kenangan meberi banyak dorongan untuk berjuang memberikan yang terbaik bagi hidup. Semua dorongan itu mebawa dampak bagi rasa yang kita alami. Ada kepuasan, kesenangan, kerinduan, dan sebagainya. Satu yang terpenting adalah "penyesalan".
Penyesalan bukan sebuah kata yang buruk. Justru dengan penyesalan hidup semakin berarti karena kita akan berusaha menjadi insan yang lebih baik di kemudian hari. Namun, ada kalanya juga batin tak mempu mengatasi sebuah perihnya penyesalan. Hal tersebut yang membuat hidup semakin terpuruk tanpa arah tujuan.
Aku pernah menyesal untuk satu keputusan terpenting dalam hidup. Begitu pun orang-orang di sekelilingku. Satu yang mungkin bisa menjadikan penyesalan menjadi hal yang indah yaitu luapkanlah penyesalan itu mungkin dalam bentuk tangisan, tulisan, nyayian dan tindakan positif lain. Itu semua dilakukan semata-mata untuk meredakan emosi dan menenangkan batin. Kemudian, cari solusi yang tepat untuk mengatasi sebuah penyesalan. Dengan begitu hidup tak akan menjadi sia-sia.
"Hidup tak akan berhenti saat kita menghadapi sebuah penyesalan, justru hidup akan menjadi terang kala kita berhasil melepaskan penyesalan dan merubahnya menjadi sesuatu yang indah.

Jumat, 30 Oktober 2009

Apatisme Pemerintah Terhadap Lembaga Pendidikan Pesantren


Oleh: Coel Ipins


Cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan ternyata jauh dari harapan. Baik dari bidang politik, ekonomi maupun bidang pendidikan.  Hampir di semua lini kehidupan ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Yang ada hanyalah bangsa ini sudah lepas dari kolonialisme bangsa Belanda, Jepang, dan Portugal. Artinya, secara fisik kita sudah merdeka, namun secara mental kita masih dalam kendali bangsa lain. Salah satunya adalah di bidang pendidikan.
Amanat pendidikan yang sudah ditetapkan dalam pembukaan UUD ‘45, alinea IV, sejak bangsa ini menyatakan kemerdekaannya, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah sebagai landasan bahwa bangsa ini harus lepas dari kebodohan dan kejumudan .Hal ini juga menunjukkan bahwa para pendiri bangsa ini sudah paham betul bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam membangun sebuah bangsa. Peradaban dan identitas suatu bangsa dikenal karena kemajuan di bidang pendidikannya. Begitu juga sebaliknya, kerusakan suatu bangsa disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Apalagi pendidikan itu terfokus pada aspek kognitif semata, sangat minim aspek afektifnya.
Melihat pentingnya pendidikan ini, maka jauh sebelum bangsa ini merdeka, para founding father bangsa terutama dari kalangan ulama telah membangun sebuah lembaga pendidikan yang disebut dengan pesantren. Dimana pada saat itu tidak ada lembaga pendidikan kecuali pesantren. Hal ini juga dikarenakan penduduk Indonesia pada saat itu adalah mayoritas beragama Islam. Dan lebih dari itu, pesantren juga merupakan sebuah lembaga yang paling efektif dalam membangun kecerdasan dan moralitas masyarakat. Walaupun sistem pendidikannya pada saat itu masih bersifat tradisional. Sistem pendidikannya yang unik dan dianggap lebih efektif dalam membina dan mendidik santri yang militan dan bermoral, telah membuat Belanda merasa terusik. Karena out put dari pesantren ini banyak melahirkan pemuda-pemuda yang siap berjuang (berjihad) melawan penjajah. Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah seperti tokoh-tokoh yang brilian dan menjadi pionir dalam perjuangan melawan penjajah, seperti  Haji Agus Salim, H.O. S. Cokroaminoto, Budi Utomo, Moh. Natsir, Cut Nyak Din, Sultan Hasanuddin, Jenderal Sudirman dan masih banyak lagi mujahi-mujahid yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Mereka-mereka ini adalah hasil dari penggemblengan pesantren. Tentu, ini sangat mengganggu dan membuat gusar para penjajah. Maka dibuatlah sistem pendidikan tandingan ala Belanda yakni upaya untuk peliberalisasian pendidikan yang hanya mengajarkan persoalan yang sifatnya kognitif. Usaha ini untuk melemahkan semangat juang para pemuda dan menjauhkan pemuda dari nilai moralitas serta memasukkan  pemikiran-pemikiran sekuler dalam mind set  pemuda.
Sistem pendidikan sekuler yang diwariskan  kolonialis ternyata sangat mempengaruhi sebagian tokoh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah seorang tokoh yang termasuk founding father  bangsa yaitu Soekarno. Bisa kita lihat dalam sejarah bahwa Soekarno dan kawan-kawannya yang berideologi nasionalis-sekuler menolak rumusan Piagam Jakarta yang telah disepakati panitia sembilan yang terdiri dari tokoh Islam dan dua tokoh Kristen yang berisi “menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Dan juga beliau melarang partai-partai yang berasaskan Islam seperti Masyumi dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa ketidaksenangan pemerintah terhadap umat Islam sudah tampak dari dulu. Hal ini bukan berarti penulis tidak menghargai dan perjuangan beliau-beliau, akan tetapi penulis hanya mengkritisi pemikiran mereka yang sekuler.
Begitu pula di bidang pendidikan, ternyata perhatian pemerintah dari dulu bahkan sampai sekarang terhadap lembaga pendidikan pesantren sangat kurang dibanding lembaga pendidikan umum. Pemerintah lebih menfokuskan diri pada kemajuan lembaga-lembaga pendidikan umum. Dari alokasi anggaran pendidikan, pemerintah lebih mengutamakan sekolah-sekolah umum. Dan juga legalitas ijazah dari pesantren sampai sekarang belum diakui. Konsekwensinya adalah para siswa (santri) yang lulus dari pesantren tidak diterima di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Negeri. Kalaupun bisa, itu pun lewat pendekatan dan lobi yang intens.
Independensi lembaga pendidikan pesanteren, bukan berarti memjadikan pemerintah  membiarkan dan menyerahkan urusan sepenuhnya kepada pihak pengelola pesantren, akan tetapi justru pemerintah harus menghargai dan mengakui keberadaan pesantren tersebut. Paling tidak, alokasi anggaran dan pengakuan legalitas ijazah pesantren direalisasikan, sehingga para siswa (santri) tidak lagi mengikuti persamaan dengan sekolah-sekolah umum. Karena hal ini sangat mempengaruhi  kurikulum lokal pesantren yang sudah paten. Di satu sisi, siswa dituntut untuk menyelesaikan materi kepesantrenan, tapi sisi lain, santri dipaksa untuk menguasai materi pelajaran yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya sebagai fasilitator dan penyokong, bukan sebagai penentu kebijakan. Urusan kurikulum biarkan interen lembaga yang menetapkan. Yang dibutuhkan adalah mengakui legalitas ijasah tersebut.
Ada satu catatan yang penting yang perlu kita renungkan bahwa pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Pesantren merupakan basis para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Dan juga pesantren merupakan sistem yang integral dalam pembinaan kecerdasaan intelektual, moralitas dan spiritual. Apalagi sistem pendidikan yang diterapkan adalah full day education. Tiada hari tanpa belajar. Berbeda dengan sekolah-sekolah umum. Pada umumnya materi yang diberikan lebih pada peningkatan kecerdasan intelektual siswa dengan waktu yang sangat terbatas.
keistimewaan sistem pendidikan pesantren, mestinya membyat pemerintah menjadi peduli dan  mengadopsi sistem ini, bukan malah mengadopsi sistem sekuler dan apatis. karena pesantren bisa menjamin peserta didik memiliki kemampuan nalar, moral dan spiritual.

Minggu, 06 September 2009

STUDI HADIS : DARI ‘SUNNAH YANG HIDUP’ KE BENTUK VERBAL

 ( Sebuah Pendekatan Sejarah)

Oleh : Anjar Nugroho

A. Pendahuluan
Sejak wafatnya Muhammad Rasulullah s.a.w., persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi wacana pasca “kepergian” Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi selanjutnya, yakni di masa tabiinn, kodifikasi al-Qur’an semuanya disandarkan atau dinisbatkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa kerkataan, perbuatan, dan taqrirnya, yang disebut hadis atau sunnah.
Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a. tidak menemukan banyak kendala kerena tugas panitia kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat r.a. untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari Nabi dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual1).Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan.. 
Untuk menghimpun hadis-hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah2). Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensilain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah perkembangan hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para mukharrij (peneliti/kolektor hadis). Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Prof. Hasbi ash-Shidieqy (1987) dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah hadis, yang kata Hasbi, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks. Mempelajari sejarah perkembangan hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis3).
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam4). 
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat, masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.

B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.
Bahwa hadis telah telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah5).
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hakl itu untuk lebih mendalami ajaran Islam6).
Meraka para sahabat tidak sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.7) Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah , sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas9).
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka10).
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan11). Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi12). Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa13). 
Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis, bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah : Pertama, mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).
Kedua, sebagaimana telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding menghafal hadis. Dan ketiga, Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.14)
Akan tetapi Muh. Zuhri15) mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan Prof. al-A’zami, menyatakan bahwa semua hadis yang menyebut larangan penulisan hadis itu dha’if kecuali hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri jalur dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasir, dari Abu Said al-Khudri. Redaksi yang sama dari jalur yang lain dinyatakan dha’if. Sebuah hadis yang sahih ini pun diragukan, apakan marfu’ atau hanya ucapan Abu Said sendiri. Al-A’zami setelah mengadakan penelitian seksama, berkesimpulan, andai hadis ini marfu’, maka dalam konteks larangan penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu buku.
Al-A’zami membantah pendapat bahwa para sahabat dilarang menulis karena kebanyakan mereka tidak dapat menulis. Banyaknya sekretaris al-Qur’an menggambarkan banyaknya sahabat yang pandai menulis. Andaikata kebanyakan mereka tidak pandai menulis, tidak perlu Nabi menyebut pelarangan menulis Hadis, karena dengan sendirinya mereka tidak menulis16).
Apakah benar hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku17).
Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmad18) berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum Muslim kala itu adalah hadis. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghafal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi s.a.w. Ada diantara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali r.a., seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushhaf di luar al-Qur’an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Nabi. Abdullah bin Amr bin Ash juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. ‘Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadis (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah mengumpulkan catatan-catatan hadis yang berserakan dan membakarnya.

C. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar19) (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M)20).
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis21). Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkanseorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan al-Mughirah tersebut22).
Kasus dia atas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan ‘Aisyah, Abu menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis23). Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis.
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.24)
Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an25). Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar26).
Gerakan pengetatan periwaytan hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu, oleh Rasm Ja’farian telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa27).
Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman28) sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadis menjadi sangat besar.
Bagaimana dengan kegiatan khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib? Dari beberapa sumber yang dapat menjelaskan tentang hal itu, dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir- sebagaimana dua khalifah sebelumnya- melakukan pula gerakan pengetatan hadis. Walaupun tidak seketat dan seradikal apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar maupun Umar bin al-Khaththab. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar bin al-Khaththab, dan juga karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya kontrol yang ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Sehingga pengaruhnya bagi perkembangan hadis ; banyak (baca : lebih banyak dibandingkan pada era dua khalifah awal) aktivitas periwayatan hadis pada era itu.
Secara pribadi Utsman jauh lebih sedikit meriwayatkan hadis29), dibanding dengan empat khalifah yang lain. Sedangkan Ali30) dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis31). Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah Ali.
Beberapa sahabat32) Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :
Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadis33).
Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadis34).
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Pada periode sahabat ini telah muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak mudah untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain…”35)

Dalam kasus lain, Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga subuh, maka puasanya tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada ‘Aisyah, ia menolak hadis tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi berpuasa, ia mandi jinabat setelah masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan berpuasa mendengar kritik itu Abu Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini, dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat lain36).

D. Munculnya Hadis-Hadis Maudhu’ (Palsu)
Hadis Nabi yang belum ditadwin (dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan – untuk dipalsukan – oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan baik politis, ekonomis, maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang –menurut sabda Nabi terkutuk (fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)-sangat merugikan dunia Islam.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan, bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis37). Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang telah dipalsukan tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih dalam tataran asumsi.
Shahal ad-Din al-Adhabi, menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang berkenaan dengan maslah keduaniawian telah terjadi pada masa Nabi dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan yang berkenaan dengan maslah agama (amr dini), pada zaman nabi belum terjadi. Alasannya, ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku diberi kuasa Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasi berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang yang mengatasnamakan beliau38).
Pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hadis39). Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai terjadinya pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindah dari pemalsuan-pemalsuan. Perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin) telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima Ali telah mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa, dan mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai kelompok khawarij. Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit itu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali digantikan oleh Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan mendirikan daulah bani Umayah40).
Runtuhnya kekuasaan Ali tidak menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah. Pertikaian segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling mengalahkan, yang salah caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk mengukuhkan kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non Islam membuat hadis palsu41), karena didorong oleh keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang Islam meriwayatkan hadis palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif. Motif itu ada yang bernuansa duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif orang-orang Islam itu adalah; 1) membela kepentingan politik42), 2) membela aliran teologi, 3) membela madzab fiqih43), 4) memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5) menjadikan orang lain lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan ibadah, 6) mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9) mendapatkan hadiah uang dari orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu. 
Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia telah membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia ingin memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang mengaku bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk membuat sebanyak lima puluh hadis palsu43).
Prof. Muhammad Zuhri44), mengidentifikasi orang-orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis, diantaranya ; Abban ibn Ja’far al-Numairi, Ibrahim ibn Zaid al-Aslami, Jabir ibn Yazid al-Ja’fi, Muhammad ibn Syuja’ al-Laitsi, Nuh ibn Abi Maryam, Al-Harits ibn Abdillah al-A’war, Ahmad ibn Abdullah al-Juwaibari.
Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ulama hadis menyusun berbagai kaedah penelitian hadis. Kaedah-kaedah yang mereka susun, tujuan utamanya adalah untuk penelitian keshahihan matan hadis tersebut, maka disusunlah kaedah keshahihan sanad hadis. Dalam konteks ini, munculah berbagai macam ilmu hadis. Yang paling urgen kedudukannya dalam penelitian sanad hadis, diantaranya adalah ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil45). Ilmu yang disebut pertama lebih banyak membicarakan biografi para periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam periwayatan hadis. Sedang ilmu yang disebut kedua, lebih menekankan kepada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari segi kekuatan hafalannya (dhabith), kejujurannya (tsiqah), dan berbagai keterangan lain yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.

E. Proses pen-tadwîn-an hadis
Andaikata Umar bin Khaththab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan hadis. Akan tetapi Umar, sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.
Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan46), sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan47).
Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M). Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia48). Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya49).
Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H)50), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)51).
Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min Umur Rasul Allah SAW wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah SAW” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)52). 
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)53).

 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I
Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II
Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I
Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963
Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t.
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I 

Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24 
an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965. 

H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196. 

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I

Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000

Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003

Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954

Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999

Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002 

Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960

1) Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t., h.4
 2) M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000, h. 2
3) Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999, h.26
4) Ibid., h.26-27
5) Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965. h. 45-46 
6) Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003, h. 28
7) Dalam sebuah hadis dikisahkan Umar bin Khaththab telah memberi tugas kepada tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka segera ia menyampaikan kepada yang tidak bertugas. Lihat al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I h. 28. Dalah kisah yang lain Malik bin al-Huwairis menyatakan : Saya (Malik bin al-Huwairis bersama rombongan kaum saya datang kepada Nabi. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Ketika beliau melihat kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, beliau bersabda :” Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka. Bila telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam. Lihat : Ibid., h. 117.
Abu hurairah telah meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah, yang terdapat dalam Shalih Bukhari 446 buah. Jumlah ini jauh melebihi hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain. Abu Bakar “hanya” meriwayatkan 142 hadis, Umar meriwayatkan 437 hadis, Usman meriwayatkan 146 dan 586 telah diriwayatkan oleh Ali. Inilah yang menyebabkan ada sebagian ulama yang “curiga” dengan periwayatan hadis oleh Abu Hurairah yang sedemikian banyak, salah satunya adalah Sharafuddin al-Musawi. Dia menyatakan bahwa tidak masuk akal jika Abu Hurairah yang bersama Nabi hanya 2 tahun (sebelum Nabi maninggal) mampu meriwayatkan hadis melebihi para sahabat yang 23 tahun bersama Nabi. Lihat Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002, h.53-60
9) H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, h.38
10) Lihat Q.S. al-Ahzab : 21; al-Qalam:4; Ali Imran:132; al-Anfal:46; an-Nur:54; dan al-Hasyr:7
11) Lihat Q.S. al-‘Alaq:1-5; dan az-Zumar:9
12) Lihat hadis Nabi yang terdapat dalam al-Bukhari, op.cit., Juz I, h.23
13) Nabi bersabda :”Telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya” (HR. Muslim dan al-Hakim dari Abu Hurairah). Hadis ini dan berbagai pernyataan sahabat yang semakna dengannya, dinyatakan oleh an-Nawawi (1277) sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Jika semua yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan berita bohong. Lihat : an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I, h.75
14) Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h.34
15) Muh. Zuhri, op.cit., h.34
16) Lihat al-A’zami, Studies in Early Hadits Literature, h. 106-116. Dinulil dari Muh. Zuhri, ibid., h. 34-35
17) Fazlur Rahman, op.cit., h.34-57
18) Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994, h. 228-229. Bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h. 36
19) lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I, h. 57-58; bandingkan dengan Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954, h.103
20) Muhammad al-Khudhari, Ibid., h.131 dan 134-135. Dinukil dari H.M. Syuhudi Islamil, op.cit., h.41
21) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I, h. 2
22) Hadis yang dikemukakan oleh al-Dzahabi tersebut diriwayatkan (di-takhrij) oleh banyak ulama, di antaranya oleh Malik bin Anas, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-darami, dan al-Marwazi. Para periwayat dalam sanad hadis itu berkualitas tsiqah, akan tetapi sanadnya munqathi’, dalam hal ini mursal. Jadi, kualitas sanad hadis itu lemah (dha’if), karena Qubaisyah bin Dzu’aib yang menyatakan menerima hadis dimaksud berasal dari Abu Bakar, menurut penelitian sebagian ulama hadis, ternyata tidak pernah bertemu dengan Abu Bakar. Tetapi menurut al-Dzahabi, Qubaisyah telah meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar. Dengan demikian hadis tersebut muttashil sanadnya. Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., 42
23) Lihat al-Dzahabi, op.cit., h.5
24) Ibid., h.8
25) Lihat Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II, h.12 diambil dari HM. Syuhudi Islmail, op.cit., h.45
26) al-Dzahabi, op.cit., juz I, h.7. Bandingkan dengan Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I, h.121
27) lihat Jalaluddin Rakhmat, op.cit., h. 229-230
28) Lihat : Fazlur Rahman, op.cit., h. 23-27
29) Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis dari Utsman bin Affan sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu adalah hadis tentang tata cara berwudhu. Lihat Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I, h. 57-75
30) Ali bin Abi Thalib cukup banyak meriwayatkan hadis, labih banyak dibanding tiga khalifah yang lain. Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan hadis melalui riwayat Ali sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian hadis itu berulang-ulang karena perbedaan sanadnya. Lihat Ibid., h. 75-180
31) Hadis riwayat Ali yang tertulis berkisar tentang 1) hukuman denda (diyat) 2) pembebasan orang Islam yang ditawan orang kafir dan 3) larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Lihat al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 32; juz II, h. 178
32) Definisi sahabat dalam konteks ini mengacu kepada orang yang semasa hidupnya pernah semasa dan berjumpa dengan Nabi, mereka beriman kepada Nabi dan mati sebagai orang Islam. Lihat : Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I, h.131. Bandingkan dengan Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963, h.387. Jika difinisi yang diambil, jumlah sahabat sangat banyak, maka al-Naisaburi membagi para sahabat dalam beberapa kelompok (sesuai dengan tingkat keutamaan : 1) Sahabat yang masuk Islam di Makkah, seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dll; 2) Sahabat yang tergabung dalam Dar al-Nadwah; 3) Sahabat yang ikut hijrah ke Habsyi; 4) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Ula; 5) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Tsani; 6) Muhajirin yang menemui Nabi di Quba 7) Sahabat yang terlibat dalam perang Badar pertama; Sahabat yang hijrah diantara Badar dan Hudaibiyah; 9) Kelompok Baitur Ridhwan; 10) Sahabat yang hijrah antara Hudaibiyah dan al-Fath, seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abu Hurairah dll; 11) para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah pada waktu penaklukan Makkah dan Haji Wada’ atau di tempat-tempat lain. Lihat : Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24
33) Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 50
34) Ibid.
35) Demikianlah, ‘Aisyah dengan tegas menolak periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Walaupun begitu, hadis yang tertolak ini masih saja tercantum dalam kitab-kitab shahih. Bahkan Ibn Sa’d, dalam bukunya ath-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulang dengan sanad yang berbeda. Lihat : Muhammad al-Ghazali, op.cit., h.29
36) Lihat : Muh. Zuhri, op.cit., h.46-47
37) Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974, h.210-211
38) Dalam hadis tersebut baik yang diriwayatkan al-Thahawi maupun al-Thabrani, ternyata sanadnya lemah (dha’if). Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 105
39) Lihat : Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 57
40) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Universitas Indonesia, 1985, h. 54
41) Yang terkenal dari hadis ini adalah hadis-hadis israilliyat. Contoh hadis-hadis Israilliyat berkaitan dengan hadis tentang penciptaan Adam dan Hawa, sampai proses kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga. Lihat : Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999, h. 55-79 
42) Contoh hadis model ini adalah “Orang-orang yang dapat dipercaya di hadirat Allah hanya ada tiga orang : aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Lihat : Syarafuddin Al-Musawi, op.cit., h.41; bandingkan dengan HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109
43) Contoh hadis model ini adalah “di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Muhammad bin Idris. Dia itu lebih berbahaya terhadap umatku daripada iblis. Dan di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal bernama Abu Hanifah. Dia itu merupakan obor bagi umatku.” Lihat Ibid.
43) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109. Dia mengutip keterangan itu dari Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I, h.284-286
44) Muh. Zuhri, op.cit., h.79
45) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.110; bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h.79-81
46) Dia juga dikenal sebagai orang yang zuhud (tidak seperti kebanyakan khalifah bani umayyah yang lain), adil, dekat dengan ulama dan juga periwayat hadis, walaupun hadis yang diriwayatkannya tidak banyak. Sufyan asy-Syafri dan asy-Syafi’i menyebut khalifat Umar bin Abd al-Aziz sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang kelima. Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.113
47) Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I, h. 194-195
48) Ibid.
49) Ibid., h. 208
50) karya malik bin Anas yang dikenal dengan nama al-Muwaththa’ tersebut sampai sekarang masih ada. Di dalamnya terdapat 1726 hadis dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Menurut hasil penelitian dari jumlah hadis itu terdapat 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285 maqthu’. Dari segi sanad, hadis yang terkandung di dalamnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Kemudian bila dikonfirmasikan dengan hadis yang ditulis Bukhari dan Muslim, maka diketahui bahwa matan al-Muwaththa’ itu shahih. Lihat Muh. Zuhri, op.cit., h 59. Ignas Goldziher tidak menyetujui karya Malik itu sebagai kitab hadis, dengan alasan antara lain ; 1) belum mencakup seluruh hadis yang ada, 2) lebih menekankan pada hukum dan pelaksanaan ibadah, serta kurang mengarah kepada penyelidikan dan penghimpunan hadis, dan 3) tidak hanya berisi hadis emata, tetapi juga berisi fatwa sahabat (fatwa al-tabi’in) dan konsensus masyarakat Islam di Madinah. Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196.
51) HM. Ismail Syuhudi, op.cit., 115
52) Ibid., h. 116

53) Lihat Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960, h. 117-119

Minggu, 23 Agustus 2009

Rahasia Puasa



Sebuah renungan sambil menunggu buka puasa

Oleh ; Coel Ipins
Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat
kelak.
Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.
1. Menguatkan Jiwa
Dalam hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan.
Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (QS 45:23)
Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala doanya dikabulkan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan doa orang yang dizalimi. (HR. Tirmidzi)

2. Mendidik Kemauan
Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Saw menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran.
Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.

3. Menyehatkan Badan
Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.

4. Mengenal Nilai Kenikmatan
Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.
Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasaakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS 14:7)

5. Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain
Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya.

Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 9:103)

Sambut dengan Gembira
Karena rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting bagi kita, maka sudah sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan penuh rasa gembira sehingga kegembiraan kita ini akan membuat kita bisa melaksanakan ibadah Ramadhan nanti dengan ringan meskipun sebenarnya ibadah Ramadhan itu berat.
Sesuatu yang memang amat kita perlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah Swt bagi bangsa kita yang hingga kini masih menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu harus prihatin akan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis yang seharusnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa, tapi malah dengan menggunakan cara sendiri-sendiri yang akhirnya malah memicu pertentangan dan perpecahan yang justeru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan dari Allah Swt.


Senin, 10 Agustus 2009

Persahabatan "Persembahan buat Zi_4N"


Oleh ; Syamsul Arifin

Persahabatan sejati layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya, Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu di dalam hatimu dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya, Seorang teman sejati akan membuat Anda hangat dengan kehadirannya, mempercayai akan rahasianya dan mengingat Anda dalam doa-doanya.
Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran. Dialah hiasan dikala kita senang dan perisai diwaktu kita susah, Namun kita tidak akan pernah memiliki seorang teman, jika kita mengharapkan seseorang tanpa kesalahan. Karena semua manusia itu baik kalau kita bisa melihat kebaikannya dan menyenangkan kalau kita bisa melihat keunikannya tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan kalau kita tidak bisa melihat keduanya.
Tak seorang pun sempurna. Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak. Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah, Orang bijaksana selalu melengkapi kehidupannya dengan banyak persahabatan.
Banyak orang akan datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya sahabat-sahabat sejati yang akan meninggalkan bekas di dalam hatimu. Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda.
Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar.
Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kami meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.

Selamat Jalan
Semoga diterima disisiNya. Amien


Jumat, 07 Agustus 2009

Nikmatnya Nisfu Sya’ban



Hari atau malam pertengahan bulan Syakban (15 Syakban). Nisfu artinya setengah atau seperdua dan Syakban adalah bulan kedelapan dalam perhitungan tahun Hijriyah. Kata Syakban berasal dari kata syi’ab (jalan di atas gunung). Dikatakan Syakban karena pada bulan itu ditemui berbagai jalan untuk mencapai kebaikan.

Malam Nisfu Syakban dimuliakan karena pada malam itu, dua malaikat yakni Raqib dan Atid, yang mencatat amal perbuatan manusia sehari-hari, menyerahkan catatan-catatan amal tersebut kepada Allah SWT. Pada malam itu pula catatan-catatan itu ditukar dengan yang baru. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Bulan Syakban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Ia adalah bulan yang diangkatkan Tuhan amal-amal. Saya ingin diangkatkan amal saya ketika sedang berpuasa.” (HR An-Nasa’i dari Usamah, sahabat Nabi SAW).

Di samping itu, pada malam Nisfu Syakban turun beberapa kebaikan dari Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang berbuat baik pada malam tersebut. Kebaikan-kebaikan itu berupa syafaat (pertolongan), maghfirah (ampunan), pembebasan dari azab dan sebagainya. Dengan demikian, malam Nisfu Syakban antara lain dinamakan juga malam syafaat, malam maghfirah, dan malam pembebasan.

Sehubungan dengan malam Nisfu Syakban yang dinamakan juga malam syafaat, Al-Ghazali mengatakan, “Pada malam ke-13 Syakban, Allah SWT memberikan kepada hamba-hamba-Nya sepertiga syafaat, pada malam ke-14 diberikan-Nya pula dua pertiga syafaat, dan pada malam ke-15 diberikan-Nya syafaat itu penuh. Hanya yang tidak memperoleh syafaat itu ialah orang-orang yang sengaja hendak lari dari pada-Nya sambil berbuat keburukan seperti unta yang lari.”

Malam itu juga disebut malam maghfirah karena pada malam itu Allah SWT menurunkan ampunan-Nya kepada segenap penduduk bumi. Di dalam hadis Rasulullah SAW dijelaskan, “Tatkala datang malam Nisfu Syakban, Allah memberikan ampunan-Nya kepada penghuni bumi, kecuali bagi orang yang syirik dan berpaling pada-Nya.” (HR Ahmad)

Selain itu malam Nisfu Syakban disebut malam pembebasan karena pada malam itu Allah SWT membebaskan manusia dari siksa neraka. Sabda Nabi SAW di dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Ishak dari Anas bin Malik, “Wahai Humaira (Asiyah RA) apa yang engkau perbuat pada malam ini? Malam ini adalah malam Nisfu Syakban, di mana Allah memberikan kebebasan dari neraka laksana banyaknya bulu kambing Bani Kalb, kecuali (yang tidak dibebaskan) enam, yaitu; orang yang tidak berhenti minum khamr, orang yang mencerca kedua orangtuanya, orang yang membangun tempat zina, orang yang suka menaikkan harga (secara aniaya), petugas cukai (yang tidak jujur), dan tukang fitnah.” Dalam riwayat lain disebutkan tukang pembuat patung atau gambar sebagai ganti petugas cukai.

Salah satu amal yang biasa dilakukan sebagian orang pada malam Nisfu Sya’ban adalah shalat sunah Nisfu Syakban sebanyak 100 rakaat. Shalat sunah tersebut ditentang keras oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab (Kumpulan Penjelasan tentang Buku Al-Muhazzab). An-Nawawi memandang hadis-hadis yang menerangkan shalat tersebut adalah hadis maudu’ (hadis palsu). Oleh karenanya, melaksanakan shalat tersebut adalah bidah. Apa yang diungkapkan Imam Nawawi diikuti pula oleh Sayid Abu Bakar Syata ad-Dimyati (ahli tasawuf) dalam kitabnya, I’anat At-Talibin (Panduan bagi Siswa).

Sumber: Masjid Istiqlal/rakyataceh.com

Kamis, 23 Juli 2009


Jika anak dibesarkan dengan celaan ia belajar memaki,
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan ia belajar berkelahi, 
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan ia selalu menyesali diri, 
Jika anak dibesarkan dengan toleransi ia belajar menahan diri, 
Jika anak dibesarkan dengan motivasi ia belajar percaya diri, 
Jika anak dibesarkan dengan dukungan ia belajar menghargai, 
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan ia belajar keadilan,
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman ia belajar menaruh kepercayaan, 
Dan jika anak dibesarkan dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang dan persahabatan ia akan belajar menemukan cinta dalam setiap peristiwa kehidupan........... 

Kelak ajari Anak-anak kalian hal2 yang baik dan Benar

Selamat Hari Anak Nasional

23 Juli 2009

Sejarah Hari Anak Nasional


"Anak adalah amanah yang di amanahkan oleh Tuhan untuk slalu kita bina & didik, karena esok akan dipertanggung jawabkan"

Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli ternyata berbeda-beda pada tiap negara. Hari anak yang benar-benar dirayakan oleh seluruh dunia adalah pada tanggal 20 November. Tanggal tersebut diumumkan oleh PBB sebagai hari anak-anak sedunia. Organisasi anak di bawah PBB, yaitu UNICEF untuk pertama kali menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia pada bulan Oktober tahun 1953. Tanggal 14 Desember 1954, Majelis Umum PBB lewat sebuah resolusi mengumumkan satu hari tertentu dalam setahun sebagai hari anak se-dunia yaitu pada tanggal 20 November.
Sejak tahun 1954 hingga hari ini, jumlah negara yang menyelenggarakan peringatan hari anak sedunia telah meningkat dari 50 menjadi 150 negara. Melalui peringatan tersebut, masalah dan problem yang dihadapi anak-anak di dunia menjadi bahan perhatian negara-negara, organisasi dan lembaga-lembaga internasional. Melalui peringatan itu juga, berbagai sumber mengajukan laporan data statistik terbaru mengenai keadaan anak-anak, masalah dan kesulitan yang mereka hadapi serta kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Sebagian dari data itu menyingkap realita pahit kehidupan jutaan anak di seluruh dunia yang hidup serba berkekurangan yang selalu bergelut dengan krisis makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Di antara hak-hak asasi manusia adalah hak untuk memperoleh kebebasan, keadilan dan kedamaian di dunia. Dalam hal ini, anak-anak lebih memerlukan perhatian, dukungan dan keamanan di banding kelompok umur yang lain. Masa depan dunia yang lebih baik memerlukan dukungan kesehatan mental dan keamanan anak-anak. Berkenaan dengan ini, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah piagam yang disebutnya sebagai Konvensi Hak Anak-anak Se-Dunia. Seluruh negara di dunia selain Amerika dan Somalia ikut dalam konvensi tersebut. UNICEF dengan pengesahan piagam tersebut berarti telah mengambil tindakan penyamaan seluruh anak di dunia dengan berbagai ragam ras dan etnisnya. Unicef menegaskan, tanpa diskriminasi apapun, anak-anak di dunia harus diberi perlindungan khusus oleh seluruh negara di dunia. Meskipun pengesahan piagam tersebut, merupakan langkah yang cukup berarti dalam merealisasikan hak anak-anak, akan tetapi para pemimpin dunia masih merasa perlu untuk menandatangani kesepakatan mengenai perbaikan kondisi anak-anak dunia dalam sidang tahun 1991. Namun demikian, sampai awal milineum ketiga ini, kondisi kehidupan anak-anak dunia masih belum menunjukkan perbaikan yang memuaskan.
Sebelum ini, masyarakat dunia telah menjanjikan akan menjadikan dekade pertama awal abad 21, sebagai dasawarsa budaya perdamaian dunia dan menolak kekerasan terhadap anak-anak. Namun, justru pada dasawarsa ini setiap harinya terdengar berita perang dan kekerasan yang memakan korban anak-anak. Perang-perang yang meletus akibat dendam dan permusuhan itu telah merampas rasa aman, penghormatan, kasih sayang dan perhatian dari anak-anak.
Salah satu contoh nyata ialah anak-anak Palestina yang tertindas, yang menyaksikan kehancuran rumah-rumah mereka dan ditawannya saudara-saudara mereka oleh tentara rezim Zionis. Anak-anak ini tidak lagi memiliki kesempatan belajar dan tak sedikit pula yang gugur sebagai syahid setelah ditembus peluru tentera Zionis.
Berdasarkan laporan Organisasi Pembela Korban Kekerasan pada dekade lalu, dalam bentrokan militer yang terjadi di seluruh dunia, sebanyak 30 juta anak menjadi korbannya dengan berbagai cara. Dalam peperangan-peperangan itu, sekitar dua juta anak tewas, lebih dari satu juta anak kehilangan orangtua mereka dan 6 juta anak luka dan cacat. Laporan itu juga menambahkan, sepanjang masa tersebut 12 juta anak kehilangan tempat tinggal sementara 10 juta anak lainnya mengalami gangguan psikologis hebat. Kondisi yang menyedihkan terdapat juga pada anak-anak yang dipenjara di sejumlah negara termasuk Sudan.
Selain dari itu semua setiap tahunnya lebih dari 700 anak menjadi korban penyeludupan manusia. Mereka diperdagangkan layaknya budak. Dalam hal ini PBB melaporkan bahwa permintaan akan tenaga kerja murah begitu banyak, dan kebutuhan akan anak-anak perempuan dan lelaki dalam perniagaan seks semakin meningkat.
Organisasi buruh dunia dalam laporannya juga menyinggung, sebanyak 245 juta anak usia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia menjadi tenaga pekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 juta 400 ribu anak lelaki dan perempuan menjadi korban aktivitas ilegal seperti perbudakan, penyeludupan manusia, exploitasi seks dan dipaksa terjun ke medan militer. Perlu juga dicatat bahwa sebanyak 2 juta anak dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk keperluan seks dan pornografi.
Selain dari perang dan dampak buruknya bagi anak-anak di seluruh dunia, kemiskinan juga menjadi hal serius yang dihadapi oleh anak-anak. Berlandaskan laporan Unicef, di dunia saat ini terdapat 2,1 milyar anak. Dari jumlah itu setiap satu dari empat anak hidup dalam kemiskinan total. Angka ini pada negara-negara sedang membangun lebih besar dengan perbandingan satu dibanding tiga orang. Dari setiap 12 anak di dunia, seorang anak di bawah usia lima tahun meninggal karena penyakit yang tidak bisa diobati dan 300 juta anak lagi menanggung kelaparan. 130 juta anak tidak memiliki kesempatan belajar di sekolah dasar, di mana 60 persen dari jumlah tersebut adalah anak-anak perempuan. Selain dari ini lebih dari 50 juta anak dan atau 41 persen dari bayi di seluruh dunia tidak mempunyai akta kelahiran. Secara realitas, ia tidak termasuk anggota masyarakat dan tidak bisa mendapat hak seperti anak-anak lain seperti pendidikan dan kesehatan cuma-cuma. Dari sudut ini, ketika menginjak usia dewasa, dia tentu tidak akan mendapat hak-hak sosial. Anak-anak seperti ini yang tidak memiliki surat pengenal dengan mudah menjadi korban penyeludupan anak-anak atau jaringan mafia lainnya.
Inilah realita pahit dan memilukan dari kondisi kehidupan anak-anak di dunia. Untuk melindungi anak-anak yang merupakan generasi mendatang dunia, seluruh negara harus bersama-sama memikul tanggungjawab. Dengan demikian, kesulitan dan problema kehidupan anak-anak akan berhasil ditekan untuk kemudian melangkah ke arah realisasi hak-hak mereka.
Dalam agama Islam, anak-anak memiliki hak-hak khusus. Islam bahkan menggolongkan pendidikan anak yang benar sebagai ibadah. Tidak hanya itu, pandangan kasih sayang juga terhitung sebagai amal kebajikan. Oleh yang demikian, menghormati kedudukan dan kemuliaan anak-anak adalah perlu di setiap situasi dan kondisi.
Hak anak-anak, hak keluarga dan hak manusia, sudah dijelaskan dalam ajaran Islam. Islam telah menjelaskannya lebih lengkap dari apa yang dipaparkan oleh piagam hak Asasi Manusia atau Konvensi Hak Anak Sedunia. Salah satu kelebihan Islam ialah selain menyodorkan undang-undang dan metode, juga menyuguhkan teladan hidup. Nabi Muhammad saaw, berulang kali menekankan perlunya untuk menghormati hak-hak anak dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang.
Data yang ada menunjukkan bahwa dalam dekade lalu, janji-janji lebih besar dari realisasi. Negara, organisasi dan lembaga-lembaga internasional serta seluruh pakar masalah anak harus mengambil pelajaran besar dari pengalaman dasawarsa lalu, untuk mengambil langkah bagi merealisasikan hak anak-anak. Karena anak-anak merupakan investasi terbaik bagi sebuah kemajuan dan pembangunan.
Marilah kita hadiahkan secercah harapan dan kegembiraan kepada anak-anak di dunia yang selama bertahun-tahun menjadi korban utama perang. Dunia anak-anak harus menjadi sebuah dunia yang sehat, penuh keriangan dan semangat, bukan dipenuhi dengan pencemaran dan perang atau gangguan dan kekerasan.

Sumber ; http://yunior.ampl.or.id