Dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri, bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang sudah “mendarah daging” di Indonesia. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa
pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Bahkan
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia,
sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13–17
M, dan di Jawa pada abad ke 15–16 M. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga
pesantren di negara-negara Islam lainnya.[1]
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan
pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M,[2] kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini. Dari
zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus
eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini.
Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syech
Nawawi al-Banteni, Syaichona Muhammad Kholil, dan Hadratus Syaich Hasyim
Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.
Pondok pesantren juga terkenal dengan kebudayaannya yang khas, baik dari
pola hidup yang bersahaja dan asketik, hingga tradisi pendidikan yang
berkarakter. Tradisi
pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya
sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi
sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang
konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.
Dalam hal ini, Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat
selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi
pesantren, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran dan kesan
aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah barat.[3]
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah
pesantren, adigum “المحافظة على
قديم
الصالح والأخد بالجديد
الأصلح” menjadi sebuah keniscayaan terhadap perubahan.
Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya menjadi tidak begitu kelihatan.
Snouck Hurgronje mengatakan:
“Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya demikian statis dan demikian
kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran “ulama” di abad pertengahan, sebenarnya
telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental; tetapi
perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap, demikian rumit dan demikian
tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola
pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat,
walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang
mengamatinya secara seksama”[4]
Perkembangan dan perubahan yang dilakukan pondok pesantren, sebagai bentuk
konstalasi dengan dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pondok
pesantren tidak lagi dianggap statis dan mandeg. dinamika kehidupan pondok
pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi aktif memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa
menyertainya. di antaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa melalui lembaga pendidikan pesantren. karena pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat.[5]
Lebih lanjut,
dalam iklim kompetitif seperti sekarang ini, sulit bagi pesantren untuk hidup
dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengubah diri dengan cepat dan
mampu berkembang seiring dengan berbagai tuntutan stakeholder. kondisi
ini berlaku hampir pada keseluruhan pesantren yang bersifat profit dan
nonprofit. pesantren sebagai lembaga pendidikan yang termasuk lembaga nonprofit
juga tidak terlepas dari fenomena ini,
itulah sebabnya dalam banyak hal pesantren harus mengetahui berbagai harapan
dan kebutuhan stakeholder.
tak perlu
disangkal, ketika banyak kalangan memandang lemah bahkan mengklaim problematika
internal pondok pesantren terletak pada manajemen. terlepas dari
keberhasilannya selama ini, pondok pesantren diakui, mampu mendidik para
santrinya menjadi manusia yang shalih, menjadi mubaligh, serta para cendekiawan
yang kemudian menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, baik formal maupun
informal yang kini tersebar di seluruh pelosok nusantara ini.[6]
Secara umum
pengelolaan manajemen di pesantren kurang diperhatikan secara serius, karena
pesantren sebagai lembaga tradisional, dengan wataknya yang bebas, sehingga
pola pembinaannya hanya tergantung pada kehendak dan kecenderungan pimpinan
saja. padahal sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk
membantu penyelenggaraan pondok pesantren tersebut.
Berangkat dari itu, menjadi sesuatu yang menarik untuk
dikaji lebih intensif tentang pengelolaan yang ada di pesantren beserta faktor
determinasinya, untuk menghasilkan data yang akurat, valid, dan objektif,
sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan dengan semangat ilmiah yang
bebas nilai.
[1] Depag, 2003. 8
[2] Ada yang berpendapat pada abad 15. lihat Khamami
Zada dkk, Intelektualisme Pesantren,. (Jakarta; Diva Pustaka. 2003), 14.
Kemudian ada yang mengatakan pada abad ke 13, Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo,
Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta; Diva Pustaka. 2003). 1
[3] Karel A Steenbring, Pesantren Madrasah Sekolah,
(Jakarta; LP3ES, 2002), 8
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta; LP3ES, 1983),
2
[5] Aqiel, Siraj, Sa’id,
Pesantren Masa Depan, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1999), 181
[6] Mahpuddin, Noor, Potret
Dunia Pesantren, (Bandung; Humaniora, 2006), 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar