Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam
organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada
faktor pimpinan. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin
memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang
sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pimpinan tersebut
sebagaimana dikemukakan oleh Stephen Covey,[1]
bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah pada karakter.
Secara definisi, kepemimpinan memiliki berbagai perbedaan pada berbagai
hal, namun demikian yang pasti ada dari definisi kepemimpinan adalah adanya
satu proses dari kepemimpinan untuk memberikan pengaruh secara sosial kepada
orang lain, sehingga orang lain tersebut menjalankan suatu proses sebagaimana
diinginkan oleh pemimpin. Berbagai perbedaan definisi tersebut tentu saja
karena dibangun oleh teori yang berbeda.
Orang-orang yang percaya pada teori sifat menyatakan bahwa para pemimpin
dianugerahi sifat-sifat yang lebih unggul, sehingga menyebabkan pemimpin
tersebut berbeda dengan orang lainnya. Kondisi tersebut bertolak belakang
dengan yang dikemukakan oleh Hersey dan Blachard bahwa kepemimpinan adalah
hasil dari tuntutan-tuntutan situasional. Faktor-faktor situasional lebih
menentukan siapa yang akan muncul sebagai seorang pemimpin daripada warisan
genetik atau sifat yang dimiliki seseorang.[2]
Tinjauan lain dikemukakan oleh Mintzberg bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan untuk melangkah keluar dari budaya yang ada dan memulai proses
perubahan evolusioner yang lebih adaptif. Para pengembang teori
transformasional melihat bahwa pemimpin memiliki tugas menyelaraskan,
menciptakan, dan memberdayakan. Para pemimpin melakukan transformasi terhadap
organisasi dengan menyelaraskan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain,
menciptakan sebuah budaya organisasional yang menyuburkan ekspresi
gagasan-gagasan secara bebas, dan memberdayakan orang-orang untuk memberikan
kontribusi terhadap organisasi.
Dari berbagai teori tersebut terlihat bahwa pemimpin harus mampu memberikan
pengaruh kepada orang lain. Pada teori sifat, seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat yang unggul yang mampu membawa orang lain pada suatu kondisi
tertentu. Pada teori situasional, seorang pemimpin lahir dari situasi yang ada
dan kemudian memengaruhi orang lain menuju suatu perubahan sesuai dengan
tuntutan situasi yang ada. Sedangkan pada teori transformasional, seorang
pemimpin harus mampu mentransformasi keluar dari budaya yang ada, menuju suatu
budaya baru yang lebih baik. Untuk melakukan transformasi budaya, maka pemimpin
harus dianut terlebih dahulu.
Namun demikian, walaupun dari definisi kepemimpinan tersebut bertitik tolak
dari pemberian pengaruh kepada orang lain untuk melaksanakan apa yang
dikehendaki pemimpin untuk menuju suatu tujuan secara efektif dan efesien,
namun proses mempengaruhinya dilakukan secara berbeda-beda. Proses inilah yang
kemudian menghasilkan tingkatan-tingkatan dalam kepemimpinan.
Pondok pesantren juga terkenal dengan kebudayaannya yang khas, baik dari
pola hidup yang bersahaja dan asketik, hingga tradisi pendidikan yang
berkarakter. Tradisi
pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya
sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi
sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang
konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.[3]
Dalam hal ini, Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat
selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi
pesantren, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran dan kesan
aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah barat.[4]
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah
pesantren, adigum ”al-muḥâfaḍatu ’alâ al-qadîmi al- ṣhâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-aṣlah” di sebuah keniscayaan terhadap perubahan.
Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya menjadi tidak begitu kelihatan.
Snouck Hurgronje mengatakan:
“Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya
demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran “ulama” di
abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat
fundamental; tetapi perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap, demikian
rumit dan demikian tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak
kenal dengan pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan
bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali
bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”[5]
[2] Muhaimin, et al, Manajemen
Pendidikan: Aplikasi dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/ Madrasah (Jakarta:
Kencana, 2009), 29
[3] Kalau mencermati “Tri Dharma Pesantren”: (1)
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt., (2) Pengembangan keilmuan yang
bermanfat, dan (3) Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Maka kita
dapat melihat bahwa pesantren sesungguhnya bukanlah institusi yang fokus pada
pendidikan agama saja. Pendidikan sains-teknologi seperti terlihat pada poin
kedua di atas sangat mungkin untuk dikembangkan di pesantren, sehingga alumni
pesantren bisa berkompetisi dalam dunia global yang sangat ketat. lihat di
Syaifullah Yusuf, Melahirkan
Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era Kesejagatan,
pengantar dalam Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat (Surabaya:
IMTIYAZ, 2011), xi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar