Pondok pesantren[1] merupakan
lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kyai sebagai tokoh sentral dan
masjid sebagai pusat lembaganya.[2] Lembaga
ini merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus
bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous culture).[3] Maka,
bukanlah kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga
belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada
umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai
lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan
dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai
belahan dunia.
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa
pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya
dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan
belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi
dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai
intitusi pendidikan yang mengajarkan agaman dan penekanan moral dipertanyakan.
Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren
ada dua macam. Pertama, mereka yang menyangsikan relevansi lembaga
ini untuk menyongsong masa depan. Kedua, mereka yang justru melihat
pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[4]
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus
terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan
sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum
pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondokpesantren dalam hal
ini; pertama, merevisi kurikulum dengan memasukkan semakin
banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; kedua,
membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan
pendidikan umum.[5]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik
akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang
mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman akhlak
al-karimah (moral) dan intelektual.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan; dewasa ini
pendidikan Islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks.
karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan
penguatan institusi mutlak harus dilakukan dan semua itu mustahil tanpa
manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam
mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen
tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru, pola
hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi
pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini dilakukan tanpa
perencanaan dan konsep yang matang seringkali berjalan apa adanya. alami dan
tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yg kurang
membanggakan.
Problematika yang dihadapi pondok pesantren dikarenakan
adanya kendala pada perencanaan pondok pesantren yang kurang optimal.
sehingga dalam pelaksanaan fungsi tugasnya tdak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. juga disebabkan minimnya personil yang kompeten
pada bidangnya, dan sumber dana kurang memadai.
Dalam penyusunan perencanaan program kerja hendaknya
diperhitungkan secara terperinci tentang kondisi obyektif pondok pesantren, pemasalahan,
alternatif pemecahan, faktor pendukung dan penghambat program, prioritas
pengembangan program, indikator keberhasilan dan langkah-langkah mencapai
keberhasilan program, pengalokasian dan waktu dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Jika perencanaan disusun dengan jelas dan bersifat terbuka serta
rasional maka tujuan dapat mudah dicapai.
[1] Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren
dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut “pondok pesantren”. Lihat
Mamfret Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta;
P3M, tt), 116. Istilah “pondok” sendiri diambil dari bahasa Arab “funduk” yang
berarti asrama atau hotel, sebab santri dalam belajar dengan cara mukim yang
membutuhkan tempat tinggal sekaligus tempat belajar dalam jangka waktu yang
lama. Lihat Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang
Pandangan HidupKyai, cet.VI, (Jakarta; LP3ES, 1994), 18
[3] Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai
Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Adi Sasono, Didin Hafiduddin, AM.
Saefuddin, dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat, cet.I,
(Jakarta; Gema Insani Pers, 1998). 101-171
[4] Muhammad Busyro, Problem Pengembangan Tradisi
Pesantren, dalam Abdul Munir Mulkham, Rekonstruksi Pendidikan
dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek), (Yogyakarta; Fak
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998), 186-199
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu,
1999), 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar