Dunia
pesantren, dengan meminjam istilah kerangka Hossein Nasr, adalah dunia
tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi
Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa dan tidak terbatas pada periode
tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum salaf, yaitu periode para
sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Anehnya, istilah “salaf” juga
digunakan oleh kalangan pesantren misalnya “pesantren salafiyah”. Walaupun dengan
pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak belakang dengan pengertian
umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan
pesantren mengacu pada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat
dengan pandangan dunia dan praktik Islam sebagai warisan sejarah, khususnya
dalam bidang syari’ah dan tasawuf. Perbedaan pesantren dalam memahami
pengertian “salaf” merupakan “Sistem Nilai di Pesantren dan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah”.
Di sisi
lain, dalam pengertian lebih umum, kaum salafi adalah mereka yang memegang
paham tentang “Islam yang murni” pada masa awal yang belum dipengaruhi bid’ah
dan khurafat. Karena itulah kaum salafi di Indonesia sering menjadikan
pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya sebagai sasaran kritik keras
mereka, setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiai dengan
tasawuf atau tarekat. Bagi kaum salafi umumnya, tasawuf dan tarekat merupakan
pandangan dunia dan pengalaman Islam yang bercampur bid’ah dan khurafat. Meski semacam
ini masih terus terdengar sampai sekarang, tetapi pesantren tetap bertahan.
Karena
itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implicit mengisyaratkan
bahwa tradisi dunia Islam dalam
segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi; meskipun
sebagaimana dikemukakan di atas, bukan tanpa kompromi. Pada awalnya, dunia
pesantren terlihat “enggan” dan “rikuh” dalam menerima moderinasi sehingga
tercipta “kesenjangan pesantren dengan dunia luar”. Tapi secara gradual,
sebagaimana telah disinggung di atas, pesantren kemudian melakukan akomodasi
dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup
tepat guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak
luas . Tetapi, semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa
mengorbankan essensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren.
Pesantren
mampu bertahan bukan hanya karena kemampuaanya untuk melakukan adjustment dan readjustment
seperti terlihat di atas. Tetapi juga karena karakter eksistensialnya yang
tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga indigenous, pesantren
muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan
kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak terpisahkan dengan
komunitas lingkungannya. Kenyataan ini bisa dilihat tidak hanya dari latar
belakang pendirian pesantren pada suatu lingkungan tertentu, tapi juga dalam
pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah,
hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pesantren pada umumnya “membalas jasa”
komunitas lingkungannya dengan bermacam cara; tidak hanya dalam bentuk
memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi bahkan juga bimbingan sosial,
cultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks terakhir
inilah pesantren dengan kiai-nya memainkan peranan sebagai “cultural brokers”
(pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.
Tetapi,
keterkaitan erat antara pesantren dengan komunitas lingkungannya yang dalam
banyak hal terus bertahan hingga saat ini. Pada segi lain, justru dapat menjadi
“beban” bagi pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan
sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum muslimin
Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat pada pesantren tidak berkurang. Bahkan,
sesuai dengan gelombang santrinisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat Indonesia.
Harapan pada pesantren semakin meningkat, peran yang diharapkan (expected
role) dimainkan pesantren semakin banyak. Pesantren diharapkan tidak hanya
mampu menjalankan ketiga fungsi tradisionalnya di atas dan menjadi pusat
pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga peran sosial lain, seperti
menjadi “pusat rehabilitasi sosial”. Dalam konteks terakhir ini, bagi banyak
keluarga yang mengalami kegoncangan atau krisis sosial-kegamaan, pesantren
merupakan alternatif terbaik menyelamatkan anak-anak mereka.
Di sini
sebuah pertanyaan penting patut diajukan; Mampukah pesantren memenuhi semua
harapan itu? Jawab saya singkat saja; wa allahu a’lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar