Senin, 04 Februari 2013

PRINSIP DASAR PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH


Ibnu Taimiyah berafiliasi kepada madzhab Imam Ahmad Ibnu Hambal. Dan ia merupakan pengikut yang faqih dari madzhab ini. Kemudian ia berijtihad sendiri sehingga mencapai tingkatan seorang mujtahid. Ibnu Taimiyah mengikuti metodologi Ahmad Ibnu Hambal , yang karenanya prinsip dan metodologi Ibnu Taimiyah tetap berkisar pada madzhab tersebut. Dalam hal ini ia adalah pelanjut metodologi literalis Ahmad Ibnu Hambal dan Daud al-Zhahiri.

Inti dari pemikiran Ibnu Taimiyah berpusat pada seperangkat prinsip yang darinya ia mengembangkan sebuah pandangan dunia. Prinsip-prinsip ini dapat diringkaskan sebagai berikut:
1.  Perbedaan absolut antara Pencipta dan yang diciptakan
Ini merupakan landasan filosofis menyangkut kedudukan Tuhan dan manusia, yang ontologis berbeda secara mutlak. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan paham wahdat al-wujud yang merelatifkan hubungan Tuhan dan manusia.
2.  Wahyu sebagai sistem yang lengkap dan mencukupi
Merupakan landasan epistemologis menyangkut kedudukan wahyu sebagai sumber pengetahuan bagi manusia yang bersifat lengkap dan mencukupi. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan para filosof dan rasionalis Mu’tazilah yang selalu mengedepankan akal dan melakukan ta’wil.
3.  Keharusan untuk selalu kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta memahaminya di bawah cahaya ajaran-ajaran generasi awal umat Islam (al-Salaf al-Shalih)
Merupakan landasan aksiologis menyangkut aktualisasi ajaran Islam berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Salaf al-Shalih. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan berbagai praktek umat Islam, dan khususnya kelompok sufi, yang telah melakukan berbagai praktek bid’ah.
Prinsip di atas merupakan penegasan Ibnu Taimiyah dalam menghadapi berbagai pemikiran, aliran dan tradisi yang telah menyimpang dari ketentuan syari’ah. Dan ia mengembalikan semua itu kepada tiga landasan tersebut. Apakah ketiga prinsip ini benar-benar baru dalam madzhab Ahmad Ibnu Hambal, nampaknya membutuhkan penelitian lebih lanjut. Yang jelas ketiga prinsip ini nampaknya sangat diilhami oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan “lawan-lawan”nya.
Sementara itu, pendekatan metodologis Ibnu Taimiyah mendasarkan premisnya pada penerapan yang benar terhadap lima sumber pengetahuan bagi keyakinan dan amal perbuatan yang diridhai Allah. Kelima sumber itu adalah: 1) al-Qur’an; 2) Sunnah Nabi; 3) Perkataan dan perbuatan para sahabat Nabi; 4) Pendapat para Tabi’in; 5) Bahasa Arab, yang merupakan bahasa agama (wahyu).
Prinsip ini membentuk apa yang dipegang oleh Ibnu Taimiyah yaitu sebuah pandangan komprehensif mengenai wahyu. Metodologi dan kepercayaan apapun yang berada di luar wahyu tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Menurut prinsip ini, wahyu adalah sumber yang lengkap dan mencukupi, sehingga semua persoalan-persoalan yang ada harus dirujukkan kembali kepadanya. Wahyu merupakan sumber metodologi bagi hukum dan pemikiran Islam. Diluar itu hanyalah kesesatan. Dalam alur pemikiran ini. Maka wahyu menjadi titik sentral dimana pemikiran Islam berpijak. Dengan sifatnya yang lengkap dan serba mencukupi, wahyu merupakan pusat dari epistemologi Islam.
Dari ini kita akan menangkap kesan bahwa Ibnu Taimiyah mengecilkan kedudukan sumber-sumber epistemologi yang lain selain wahyu, seperti akal dan intuisi, yang dalam tradisi intelektual Islam klasik, sama-sama sah diakui sebagai sumber pengetahuan manusia. Namun bila kita melihat fokus persoalan yang menjadi perhatian utama Ibnu Taimiyah dalam kritik-kritiknya. Maka akan nampak bahwa wahyu menjadi sumber utama pengetahuan manusia dalam persoalan-persoalan keagamaan, khususnya menyangkut akidah dan ibadah.
Ibnu Taimiyah memang sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Menurutnya, ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan. Ia juga mengatakan, bahwa ibadah merupakan tujuan puncak yang dicintai dan diridhai Allah atas manusia yang karenanya ia diciptakan (QS. Al-Dzariyat: 56). Dan manusia baru bisa mencapai kesempurnaannya dengan menjadi hamba (‘abd) Allah yang sejati.
Dalam masalah ini Rasul telah memberikan penjelasan secara lengkap baik pokok maupun cabangnya. Karena itu tidak diperlukan pemahaman rasional untuk memahaminya. Ibnu Taimiyah mengkritik menggunakan akal dalam wilayah Ketuhanan, metafisika, wahyu, kenabian, dan masalah eskatologis. Dalam wilayah ini kemampuan akal terbatas, disinilah Ibnu Taimiyah sepaham dengan tokoh generasi sesudahnya, seperti Ibnu Khuldun (sejarawan) dan Jalal al-Din al-Rumi (sufi) yang juga meragukan akal di wilayah metafisika. Tegasnya, Ibnu Taimiyah menempatkan supremasi wahyu di atas semua sumber-sumber epistemologi dalam wilayah agama.
Ibnu Taimiyah tidak menolak akal an sich, tapi ia menolak kesimpulan-kesimpulan akal yang bertentangan dengan wahyu, khususnya yang menyangkut interpretasi spekulatif dan sufistik yang tingkat kebenarannya sulit untuk diverifikasi. Di luar itu, ia mengakui validitas akal, misalnya dalam pengetahuan sains empiris. Bahkan dalam bidang ini ia dikenal sebagai peletak dasar pertama bagi sistem logika John Stuart Mill dan David Hume.
Akhirnya, kepada orang-orang yang mengikuti prinsip ini, yaitu mengikuti al-Qur’an, al-Sunnah dan salaf al-shalih, Ibnu Taimiyah menggolongkannya kepada ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Merekalah orang-orang yang sesungguhnya pantas disebut golongan ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat di kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”. Ia juga mengatakan: “Barang siapa yang berkata dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ al-salaf, maka dialah ahlu al-Sunnah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar