Jumat, 15 Februari 2013

CATATAN USANG BUAT RHENSI



Sejujurnya, saya tidak terlalu biasa menulis tentang perempuan secara vulgar, apalagi menyangkut dunia perasaan yang menyayat, ritme tangis yang menusuk, nestapa keputusasaan yang menyentak-nyentak naluri maupun menunggu sesuatu dalam ketidak pastian. Saya tidak terbiasa, karena dalam nalar kelelakian yang sejati, kita sering dihadapkan pada kondisi psikologi perempuan yang kadang memang paradoks. Dan ketika paradoksalitas itu kian kentara, yang muncul dihadapan kita hanyalah anomali-anomali dan term-term lain yang menjebak pada labirin. Ya, paradoksalitas ini saya temukan pada diri seorang Rhensi.


Sedikit kisah tentang paradoksalitas itu, yang saya tangkap dalam lembar hidup seorang perempuan bernama Rhensi, perempuan supel dan ”lincah”. Saya tidak terlalu jauh mengenalnya, hanya sebatas komunikasi via dunia maya saja. Bagi saya cukup dengan hanya melihat dan merasa dengan imajinasiku sesuai dengan yang sayan ketahui, meski bukan seorang psikolog, saya yakin bahwa dia sedang ”terluka”. Luka yang dibiarkan terus-menerus menganga, nelangsa dalam keterasingan yang panjang dan melelahkan. Ya, dia sebenaranya sedang terasing dengan dirinya sendiri. Sedang berusaha untuk keluar dari himpitan nyeri yang kerap mengungkungnya. 
Seuntai kata saya ingat akan pentingnya saya mengutip dan menuangkan dalam sebuah catatan usang ini, ketika saya tanya tentang langkah selanjutnya yang akan ia lakukan, spontan ia berujar; ”gak tau mesti ngomong apa....” Saya diam tak bergeming. Memikirkannya dengan penuh ketakmengertian dan penuh kebingungan. Sayapun hanya bisa menghela nafas dalam-dalam dan muncul rasa iba akan dirinya.
Mendengar pengakuannya yang ”sangat-sangat jujur” sekalipun ia menjawab dengan apa adanya mungkin disebabkan karena sudah tidak tahu lagi apa yang akan dijadikan argumentasi yang meyakinkan, saya sama sekali tak terkejut. Jujur menyampaikan ketidakjujuran diri sendiri adalah hal yang sangat langka. Saya berani acungkan dua jempol untuk kejujurannya. Dan sekilas  saya ingat ceritanya yang mengalir tanpa hambatan apapun sejak pertama saya komunikasi, bahkan hal-hal yang menurut mainstream umum tidak layak dibicarakan. Tapi, apa hak saya melarangnya berbicara, mengeluarkan gumpalan kekecewaan yang memmuncak di hatinya? Sekalipun keyakinanku masih tersisa dan merasa masih ada sesuatu yang lebih wah yang belum sempat ia sampaikan.
Seketika otak jailku kambuh dan sekalian saya usilin dengan bahasa basa-basi. Dan ternyata ia sedang memanjakan dirinya nyalon, ”Saya lagi di Hair Spa..!!” Katanya manja. Saya masih juga diam. Otakku mulai bekerja; ada apa sebenarnya dalam logika perempuan? Ahai... gerangan apakah yang sedang terjadi? Disinilah menurut saya letak keunikan kondisi psikologis Rhensi, seorang perempuan yang sadar tapi tidak menyadari, paham tapi tidak memahami. Bukankah manusia memang makhluk yang penuh paradoks? Tak ada poin apapun ketika kita berusaha mengingatkan orang yang tidak lupa, berusaha menyadarkan orang yang tidak gila dan membangunkan orang yang tidak dalam keadaan tidur.
Maka, saya teringat apa yang pernah dikatakan Sigmund Frued, tokoh psikoanalisis itu, bahwa manusia secara naluriah memang memiliki alter ego. Bukankha kita sering memiliki seribu wajah? Dan, bagi saya Rhensi sedang menampakkan wajah yang lain. Raut yang ceria meski jiwanya terluka, wajah yang dipaksa untuk tetap tersenyum dalam jerat penantian tanpa ujung (gantung; pinjam istilah Melly G). Siapa yang sanggup menelan luka saat jiwa kian renta?
Disinilah letak ketegaran seorang Rhensi, teman maya saya itu. Tegar dalam keterpurukan yang menghunjam. Saya sama sekali tak menganggap bahwa ia adalah perempuan amoral, bejat, asusila dan stigma-stigma buruk lainnya. Bagi saya, Rhensi adalah diri Rhensi seutuhnya. Dan saya berharap, semoga ia tidak tersinggung tatkala membaca catatan tak berarti ini. Tak ada maksud apapun, kecuali bahwa kita perlu belajar pada segala sesuatu yang telah terjadi, belajar pada orang lain dan diri sendiri. Bukankah dialektika antara baik-buruk, kaya-msikin, hitam-putih adalah keniscayaan hidup? Dan disinilah konseptualisasi amar-ma’ruf dan nahi-mungkar menemukan titik implikasi logisnya dalam menata perjalanan hidup ini. Dan disini pulalah, ajaran kerendahan hati menemukan kesejatiannya; bahwa tak ada sesuatu apapun yang benar-benar sempurna, kecuali Tuhan. 
Maka, sejatinya kita tak perlu malu karena pernah menyandang gelar-gelar buruk. Kita tak perlu berkecil hati, apalagi meratapi diri. Kita tak perlu malu pada manusia, karena bukan mereka yang memberi kita makan, yang memberikan kita hidup. Tapi malulah pada diri sendiri, malu pada Tuhan tatkala kita tak pernah berusaha memperbaiki diri dan menjadi lebih baik.

* Untuk Rhensi, sahabat mayaku; Semoga catatan ini menyuguhkan sesuatu yang berarti, semacam kesadaran baru. Entah apapun kesadaran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar