Minggu, 10 Februari 2013

KILAS ARAH TUJUAN PENDIDIKAN PESANTREN


Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan untuk tafaqquh fi al-din (memahami agama) dan membentuk moralitas umat melalui pendidikan. Sampai sekarang, pesantren pada umumnya bertujuan untuk belajar agama dan mencetak pribadi Muslim yang kaffah yang melaksanakan ajaran Islam secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan tafaqquh fi al-din dan mencetak kepribadian Muslim yang kaffah dalam melaksanakan ajaran Islam didasarkan pada tuntunan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. dimana Nabi merupakan top model dan guru imajener (meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud) bagi pesantren. Tujuan ini adalah tujuan pokok dalam setiap pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang teguh menjaga tradisi ulama salaf al-salih dan para wali yang diyakini bersumber dari Rasulullah Saw. Dengan ini, maka Islam akan bertahan dan berkembang dalam masyarakat, khususnya di Indonesia. Adapun mengenai tujuan khusus, masing-masing pesantren juga mempunyai tujuan khusus tergantung dengan pengasuhnya. Misalnya tujuan mencetak para huffadz (penghafal al-Qur’an), mencetak fuqaha’ (ahli fiqhih), mencetak para ahli bahasa Arab, dan yang lainnya.

Dalam konteks ini pesantren memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan terhadap ini relatif baru. Tidak adanya rumusan ini disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh kiai atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Malah pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya. Maka tidak heran bila timbul anggapan bahwa hampir semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.
Sepintas, teringat kutipan Imam Zarkasyi tentang tujuan pendidikan yang dirumuskan sangat sederhana, “untuk menjadi orang”. Sebenarnya istilah ini cukup familiar dikalangan masyarakat kita, khususnya orang-orang tua, khususnya “orang-orang desa”. Ketika ditanya apa yang dicita-citakan atau diharapkan dari anak-anak mereka, pada umumnya mereka menjawab: “Yang penting jadi orang”. Hematnya, frasa ini memiliki makna yang sangat mendalam. Maksud frasa itu adalah menjadi manusia yang benar-benar manusia, dan bukan manusia yang seperti binatang. Apalah artinya memiiki ilmu segudang tetapi tidak bermanfaat atau bahkan merugikan masyarakat. Padahal yang diharapkan dari pendidikan adalah lahirnya sosok manusia yang paham akan jati dirinya sebagai manusia, yaitu sebagai khalifah fi al-ardl.
Jika manusia sadar akan eksistensinya dan tanggung jawab dirinya sebagai insan al-kamil yang bertugas menjadi the vice of God (wakil Tuhan), ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Pendek kata, tujuan pendidikan Islam adalah untuk melahirkan orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa, Negara dan agama. Persis dengan jawaban  siswa-siswa Sekolah Dasar, ketika ditanya cita-cita mereka. Ini sesuai dengan impian Rasul bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Atau jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidaknya tidak merugikan orang lain.
Dalam hal ini, kita tidak perlu repot-repot mencari contoh. Lihat saja “tikus-tikus” kantor (pinjam istilah Iwan Fals) di negeri ini. Hampir semuanya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan skiil tinggi. Makanya mereka acapkali disebut dengan the white collar crime, penjahat kerah putih. Tanpa kemampuan dan skiil yang baik, mereka tidak akan bisa atau minimal tidak ahli dalam korupsi. Justru karena memiliki pengetahuan dan skiil-lah, mereka cerdik dalam melakukan korupsi. Ini terjadi, sekali lagi, karena dalam diri mereka tidak tertanam sikap dan prilaku yang baik.
Sikap prilaku yang baik dalam Islam adalah sikap yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Bukankan Nabi Saw. telah menegaskan; “Barang siapa yang mengikuti (petunjuk) al-Qur’an dan hadist, Ia akan selamat.” Orang yang mengikuti al-Qur’an dan hadits layak untuk mendapatkan gelar takwa, sebab ia akan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah plus dihiasi dengan akhlak al-karimah. Nabi Muhammad sendiri memang hadir untuk mengarahkan agar manusia bersikap dan berprilaku baik; “Sesunggunya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Allah juga menegaskan; “Sejatinya pada diri Muhammad terdapat akhlak yang luar biasa.” Sebagai seorang Muslim, kalau bukan al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang menjadi cerminan, lantas apa dan siapa yang akan dijadikan panutan?
Bila disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian Muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmad kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti Rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad Saw., mempu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam berkepribadian, menyiarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang dituju adalah kepribadian Muslim yang kaffah, bukan sekedar Muslim biasa.

Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar