Sabtu, 23 Februari 2013

HAKIKAT MANUSIA


Pengetahuan tentang hakikat dan kedudukan manusia merupakan bagian amat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakikat manusia, kedudukan dan peranannya di alam semesta ini. Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia bukan saja objek tetapi juga subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara matang.
Para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakikat manusia. Sastraprateja, misalnya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah bangsa manusia. Apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan atau orientasi yang tetap dimiliki manusia.

Sastraprateja, menambahkan bahwa ada enam anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu:
1.  Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis.
2.  Ketertiban dengan sesame.
3.  Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional.
4.  Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat.
5.  Hubungan timbale balik antara teori dan praktek.
6.  Kesadaran religius dan para pemeluk agama.
Keenam anthropological constants ini merupakan satu sitensis dan masing-masing saling berpengaruh satu dengan lainnya.
Ibnu ‘Arabi melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, tak ada mahluk Allah yang lebih bagus daripada manusia. Allah swt, membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini merupakan sifat-sifat rahbaniyah.
Murthada Mutahhari, melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai berikut:
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu mahluk pilihan Tuhan sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai mahluk yang semi samawi dan semi duniawi yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta dikaruniai keunggulan untuk menguasai alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai kearah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidkmampuan yang kemudian bergerak kearah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran  dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada mereka. Namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
Tapi, dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan  hakikat dirinya sebagai hamba Allah. manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan sering merasa congkak dan takabbur terhadap Tuhannya. Dalam rangka menyadarkan manusia akan kedudukan sebagai seorang hamba Allah, dalam al-Qur’an terdapat pernyataan agar manusia mau berfikir tentang asal kejadiannya.
Dengan demikian, manusia akan sadar akan ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengenal dirinya sendiri, dan fenomena alam lainnya. Pada saat itulah manusia sadar akan ketidakmampuan dan keterbatasannya dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan Allah sebagai dzat yang menguasai alam semesta. Disini manusia memiliki suatu perasaan keagamaan yang patuh pada kekuatan supranatural, yang dalam bahasa agama Islam disebut Allah swt. Dari sini pula akhirnya pada agamawan mendefinisikan manusia sebagai mahluk beragama. Meskipun demikian, definisi itu belum mewakili pengertian hakikat manusia secara utuh. Untuk itu harus pula dilihat pengertian manusia dari segi kata yang digunakan.
Ditinjau dari segi kata (istilah) yang digunakan, kata manusia dalam al-Qur’an memperkenalkan tiga kata yang bisa digunakan untuk menunjukkan pengertian manusia. Ketiga kata tersebut antara lain: al-Basyar (البشر), al-Insan (الانسان), dan al-Nas (الناس). Meskipun kenyataanya menunjukkan arti pada manusia, akan tetapi secara khsusus memiliki pengertian yang berbeda:
1.  Al-Basyar
Kata al-Basyar dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi, al-Basyar merupakan bentuk jama’ dari kata al-Basyarat (البشرة) yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat timbulnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah mahluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada didalamnya. Seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Kata al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Ini berarti Nabi dan Rasul pun memiliki dimensi al-Basyar seperti firman Allah dalam al-Qur’an; “Sesungguhnya Aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu………” (QS. 18;10).
2.  Al-Insan
Terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata al-Insan dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia penyandang predikat sebagai khalifah di bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan mahluk psikis disamping mahluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu.
3.  Al-Nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata al-Nas menunjukkan pada hakikat manusia sebagai mahluk social dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Pengunaan kata ini lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia, dibandingkan dengan kata al-Insan.

Pendefinisian yang dinyatakan Allah swt dalam al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah al-Basyar, al-Insan, dan al-Nas, memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah swt. Refrensi ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) dan im-material (psikis) yang dipandu oleh ruh ilahiyah. Diantara keduanya saling berhubungan.
Dari sedikit gambaran di atas dapat kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugas yang memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan psikis, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar