Selasa, 29 Januari 2013

IBNU TAIMIYAH: Sang Reformis Islam


Islam merupakan agama yang dianut oleh manusia dari berbagai latar belakang etnis, sosial dan budaya yang berbeda-beda. Sebagai agama dengan klaim universal dan berhasil menjamah berbagai wilayah pusat-pusat kebudayaan kuno, ia telah menyerap berbagai warisan intelektual, nilai-nilai, literatur, dan berbagai tradisi yang dijumpainya. Dan hal ini telah terjadi tidak lama setelah satu abad Nabi Muhammad saw. wafat.
Islam telah berdialog dengan manusia dari berbagai latar belakang; ia dipahami, ditafsirkan dan diaktualisasikan sesuai dengan latar belakang tersebut. Ia menjadi agama yang terbuka untuk dipahami setiap orang. Al-Qur’an sebagai induk dari ajaran Islam telah dibaca, dipahami, dan ditafsirkan di bawah cahaya perbedaan ini, mulai dari interpretasi bahasa, interpretasi hukum, interpretasi filosofis hingga interpretasi sufistik. Bahkan al-Qur’an pun menjadi inspirasi bagi pengembangan sains dan teknologi di saat itu.

Hasilnya sungguh luar biasa. Islam tidak hanya menjadi sebuah agama yang dianut oleh jutaan umat manusia, tapi juga menjelma menjadi sebuah peradaban besar yang mampu merangkum seluruh karya cipta umat manusia. Hossein Nashr, mengatakan; “Islam tidak hanya merupakan sebuah agama, Islam juga merupakan pencipta dan semangat yang hidup dari sebuah peradaban utama dunia dengan sejarah panjang selama 14 abad”. Sejarah Islam menunjukkan keberadaan manusia dari beragam wilayah, dari Afrika Utara hingga Malaysia. Ia menunjukkan penciptaan imperium besar dan terintegrasi ke dalam tatanan masyarakat yang satu dari bermacam-macam kelompok etnis dan bahasa. Islam telah menciptakan sebuah peradaban  di tengah-tengah wilayah kebudayaan-kebudayaan kuno selama lebih dari satu mellinium. Peradaban ini menghasilkan sejumlah figure intelektual, seni dan arsitektur, pencapaian sains dan teknologi yang mengagumkan, dan sebuah tatanan sosial yang berdasarkan ajaran al-Qur’an.
Namun, untuk mencapai berbagai prestasi ini bukanlah tanpa resiko. Betapa pun umat Islam berhasil menyerap dan melakukan sintesis kreatif antara Islam dengan khazanah kebudayaan lainnya, sehingga menciptakan berbagai kemajuan yang sangat signifikan, namun terdapat bahaya yang dapat menggiring mereka kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terlalu jauh dari ajaran Islam. Berbagai pemikiran, kepercayaan, dan praktek-praktek keagamaan sebagaimana terdapat dalam aliran-aliran dan madzhab-madzhab, Nampak begitu bebas tak terkendali dan tidak jarang menimbulkan polemik dan konfrontasi tajam satu sama lain. Apalagi bila sudah berafiliasi dengan kekuasaan politik. Pada gilirannya hal ini membawa umat Islam kepada berbagai krisis baik intelektual, agama, sosial, dan politik.
Fazlur Rahman, mengatakan; “Dari abad ke 2 H/8 M hingga 4 H/10 M, serangkaian krisis intelektual dan cultural timbul  dalam Islam, yang paling serius dan signifikan adalah yang dihadapkan oleh intelektualisme Hellenis. Tetapi tantangan-tantangan tersebut dihadapi Islam dengan berhasil baik dengan cara berasimilasi, menolak maupun menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang baru tersebut. Namun pada waktu itu, kaum Muslimin secara psikologis adalah tak terkalahkan, secara politik adalah penguasa situasi, dan dalam kandungan agamanya tidak dibebani oleh tradisi yang mati”.
Namun sejak keruntuhan Baghdad oleh serangan Mongol pada tahun 1258 M, kekuatan umat Islam telah terpecah dan terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing dan bertikai, yang justru semakin melemahkan kekuatan mereka. Sementara itu, tradisi intelektual yang telah dibangun sebelumnya telah kehilangan dinamikanya dan membeku menjadi tradisi yang mati. Dinamika ini terhenti melalui penutupan pintu ijtihad, dan membawa umat Islam pada taklid. Umat Islam berada pada pemikiran fatalisme, menggantikan kebebasan berpikir dan bertindak.
Di masa inilah Ibnu Taimiyah hidup, yaitu ketika umat Islam berada dalam krisis keagamaan, soial dan politik. Dan sebagai respon atas berbagai krisis di akhir abad ke 13 M dan awal abad ke 14 M tersebut, Ibnu Taimiyah mendapatkan kebangkitan masyarakat Islam berdasarkan pada sebuah model yang ia yakini sebagai masyarakat Muslim yang masih murni di masa Nabi dan sahabatnya (Salaf al-Shalih), namun upayanya untuk kebangkitan masyarakat Islam tidak hanya bertujuan pada reformasi sosial dan politik, ia juga menjangkau kebangkitan dari dalam komponen-komponen spiritual Islam. Ia percaya bahwa reformasi internal harus dilakukan terlebih dahulu sebelum reformasi keluar. Pandangannya ini membawanya kepada konflik  dengan para teolog (mutakallimin), filosof dan mistik sufi, yang dituduhnya menyimpang dari Islam yang murni dari ajaran Nabi dan al-Qur’an, dengan mengadopsi sistem kepercayaan non-Islami yang secara khusus adalah logika dan filsafat Yunani.
Jika Abu Hamid al-Ghazali merupakan representasi kekuatan yang mencoba melakukan sintesis besar dalam karangka syari’ah, sehingga sistemnya diterima oleh mayoritas umat Islam dan mampu menciptakan integrasi umat Islam, maka hal itu terjadi di saat umat Islam masih berada pada puncak kegairahan intelektual dan spiritual; sementara Ibnu Taimiyah berada dalam posisi sebaliknya. Ia hidup di masa ketika umat Islam tengah mengalami kejumudan dan kebekuan dari tradisi yang kaku, yang dalam banyak hal mengandung praktek-praktek yang menyimpang dari syari’ah atau disebut bid’ah. Karena itu program Ibnu Taimiyah berbeda dengan al-Ghazali, yaitu seperti disebut Fazlur Rahman, berupa restatement syari’ah dan mempertahankan nilai-nilai agama.
Di sinilah Ibnu Taimiyah tampil sebagai kritikus ulung terhadap berbagai tradisi yang telah menyimpang dari salaf al-shalih. Ibnu Taimiyah merupakan pengikut ajaran Ahmad bin Hambal, dan merupakan tipikal representasi dari sayap kanan ortodok. Objek yang segera mendapat kritik yang amat tajam darinya adalah sufisme dan para pengikutnya. Ia pun tiddak kalah semangatnya melawan pemikiran-pemikiran para filosof, dan juga terhadap esoterisisme Syi’ah secara umum dan Islamiyah secara khusus.
Dengan penafsiran literal atas teks-teks syariah, sebuah langkah yang sangat logis untuk mengembalikan semua ke pokok asalnya. Ibnu Taimiyah mendekontruksi semua wacana keagamaan yang berkembang saat itu. Tentu saja reaksi keras berdatangan dari semua pihak yang diserangnya, dan menjadikannya sebagai tokoh yang sangat kontroversial. Namun Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang jujur dan jauh dari fanatisme golongan. Semua pendapat dari golongan manapun yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah ia akui kebenarannya. Ia tidak segan-segan untuk mengatakan, seperti bahwa dalam hal pemikiran Mu’tazilah ada benarnya. Ini menunjukkan bahwa dalam pendiriannya, kebenaran bisa terdapat dari golongan yang mana saja. Ibnu Taimiyah memiliki sikap yang terbuka terhadap semua pendapat dan memberikan pernyataan bahwa kebenaran tidaklah menjadi milik satu golongan saja, tetapi bisa berada diantara semua golongan.
Reformasi Ibnu Taimiyah tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, tetapi juga memiliki tujuan reformasi sosial. Sikap penentangan Ibnu Taimiyah terhadap fatalisme misalnya, merupakan bagian dari perjuangannya untuk melawan ketidak adilan sosial. Ia percaya bahwa tujuan dari semua wahyu adalah membimbing manusia dalam menegakkan keadilan dan menolak kekerasan. Dan ini merupakan tugas dimana seluruh umat Islam harus bekerja sama. Dalam mendiskusikan tujuan ini, Ibnu Taimiyah megangkat dua isu yang kelak menjadi tema utama gerakan reformasi Islam di masa modern;
1.  Penolakan terhadap fatalisme, bersikap pasif terhadap ketidak adilan, dan menyerahkan pada perantara orang-orang suci daripada mengambil tanggung jawab dalam masyarakat. Bagi Ibnu Taimiyah determinisme lebih buruk daripada bid’ah, sebab hal itu membuat tidak ada artinya janji Tuhan atas amal saleh dan adzab bagi perbuatan dosa.
2.  Reformasi Islam yang ditekankan Ibnu Taimiyah adalah kebutuhan untuk menjaga fleksibilitas hukum Islam melalui ijtihad. Ia berpendapat bahwa ijtihad harus tetap aktif, kalau tidak hukum Islam akan menjadi tidak relefan.
Tema-tema itulah yang membuat Ibnu Taimiyah di hargai oleh para pengamat modern dan menjadi inspirasi bagi sejumlah pemikiran-pemikiran modernisme mulai abad ke 20, khususnya karena semangatnya untuk membuka kembali pintu ijtihad, yang kemudian menjadi tema utama bagi pembaruan pemikiran Islam. Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah juga diletakkan dengan metodologinya yang literalistik dalam memahami nash, serta sikap tegasnya terhadap taqlid dan bid’ah yang membuatnya dipandang sinis oleh banyak kalangan tradisionalis.
Ibnu Taimiyah memang menolak penalaran rasional atas nash, kecuali terhadap persoalan-persoalan yang secara tidak langsung disebutkan oleh nash. Ini adalah medan ijtihad yang membutuhkan pemecahan rasional, yaitu bidang muamalah yang amat luas. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menekankan pada aspek maslahat dan menegaskan bahwa syari’ah bersifat lengkap pada dirinya sendiri dan dapat diadaptasikan di setiap masa oleh para faqih sesuai dengan prinsip kemaslahatan (al-maslahah). Barangkali inilah tantangan utama Ibnu Taimiyah kepada semua audiensinya, yaitu agar berinovasi dan menggunakan nalar dalam bidang-bidang muamalah, bukan dalam bidang-bidang pokok keagamaan. Bukankah kritikan pedas Ibnu Taimiyah terhadap praktek bid’ah hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.
Untuk memahami semangat Ibnu Taimiyah inilah maka diperlukan pembahasan yang objektif agar bisa melihat sisi mana  dari pemikirannya yang bersifat tegas dan tanpa kompromi dan di sisi mana yang menerima fleksibilitas dan perubahan melalui ijtihad (sisi ideal yang bersifat tetap dan sisi sosio-historis yang bersifat dinamis). Sebab dalam pemikiran Ibnu Taimiyah terkandung kedua sisi tersebut, yang sayangnya lebih ditonjolkan sisi yang pertama sehingga menampakkan wajah Ibnu Taimiyah sebagai sosok yang kaku, keras dan hanya mengedepankan formalisme beragama. Untuk itu kita perlu memahami prinsip dan metodologi Ibnu Taimiyah serta ruang lingkup pemikirannya yang demikian luas sehingga dapat memandang pemikiran tokoh ini secara utuh.
Begitu besar kontribusi Ibnu Taimiyah bagi pengembangan tradisi intelektual Islam pada khususnya dan bagi gerakan kebangkitan Islam pada umumnya. Wa Allahu A’lamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar