Senin, 10 November 2014

Hari Pahlawan Tidak Sekedar Serimonial

Hari Pahlawan yang biasa dirayakan pada 10 November, merupakan peristiwa bersejarah saat terjai pertempuran antara pihak tentara Indonesia dengan pasukan Belanda, yang terjadi pada 10 November 1945 di Kota Surabaya.

Pertempuran tersebut merupakan perang pertama tentara Indonesia dengan pasukan asing, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Bahkan pertempuran tersebut termasuk pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme.

Jauh sebelum momentum tersebut, rakyat Indonesia dengan semangat dan tekad bulat sudah berhasil memukul mundur pasukan musuh. Baik tentara Jepang, Inggris, hingga Belanda, yang tidak mau menyerah begitu saja dalam menjajah negeri yang identik dengan rempah-rempah tersebut.

Banyak peristiwa bersejarah lainnya yang terjadi di Surabaya, pada masa penjajahan dulu. Salah satunya peristiwa Jembatan Merah, perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), hingga terbunuhnya pimpinan tentara penjajah, Brigadir Jenderal Mallaby oleh pejuang Indonesia.

Namun demikian, penggati Mallaby, Mayor Jenderal Robert Mansergh justru mengeluarkan ultimatum dan meminta semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan. Bahkan juga dituntut untuk menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala, dengan batas ultimatum pada pukul 06.00.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk sejumlah badan perjuangan atau milisi. Bahkan ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia sudah berdiri.

Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang ‘memboncengi’ kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30 ribu infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang, dan perlengkapan perang lainnya.

Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.

Di luar dugaan, penjajah yang menduga bahwa di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga gari, tidak berjalan sesuai harapan. Sebab di Surabaya, terdapat sejumlah tokoh masyarakat dan pelopor. salah satunya Bung Tomo, yang merupakan pelopor muda yang berpengaruh besar di masyarakat. bahkan dengan pekikan dan teriakan lantangnya, ia berhasil menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya. Sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar penjajah

Selain dari kalangan pemuda, sejumlah tokoh Agama yang terdiri dari ulama dan kiai pondok pesantren, seperti KH. Hasyim As'ari, KH. Wahab Hasbullah, dan kiai-kiai pesantren lainnya. Juga menggerakkan santri dan masyarakat sipil  mereka sebagai milisi perlawanan, sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama.

Setidaknya 6 ribu hingga 16 ribu pejuang dari pihak Indonesia tewas dan sekitar 200 ribu rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris diperkirakan sebanyak 600 ingga 2.000 tentara.

Pertempuran berdarah di Surabaya, yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia, untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Berangkat dari peristiwa tersebut, pastinya kita selalu berharap bahwa perjuangan para pahlawan mengusir penjajah dari bumi pertiwi tidak cukup hanya dengan mengenang jasa-jasa mereka melalui acara serimonial semata. Akan tetapi, semangat serta jiwa kepahlawanan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI harus senantiasa dijaga dengan baik dan benar.

Untuk mewujudkan cita-cita para pahlawan yang menginginkan masyarakat yang adil dan makmur tanpa penindasan, melalui pengorbanan dengan segenap jiwa dan raga patut untuk kita tiru sebagai modal menjaga negeri dari penjajahan dalam bentuk lainnya.

Untuk itu, sepatutnya kita wajib menjaga peninggalan para pahlawan dengan tetap berjuang dengan semangat dan pengorbanan yang sama. Seperti yang mereka lakukan saat mengusir para penjajah dulu, sekalipun lawan yang kita hadapi saat ini bukan lagi para penjajah yang mengangkat senjata, melainkan penjajahan dalam bentuk dan cara lain, yakni imprealisme.

Seperti tertuang dalam sebuah pepatah, bahwa ‘merebut lebih muda daripada mempertahankan’. Selaras dengan yang diungkapkan oleh Proklamator Republik Indonesia, Ir. Soekarno, 'Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar