Oleh: Ainur Rohim
"Saya ini seperti orang teler, setelah
menenggak bir bintang langsung nyender di beringin, kemudian diseruduk
banteng," tutur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika memberi sambutan
pada acara perayaan Isra Miraj di Markas Golkar, Slipi, Jakarta menjelang Pemilu
1987.
Itulah gaya tokoh yang belum begitu lama duduk di
pucuk pimpinan NU itu, di hadapan sekitar 2.000 undangan, termasuk Ketua Umum
Golkar, Sudharmono dan Sekjennya, Sarwono. Dengan itu ia ingin menyatakan, NU
berada di atas semua golongan.
Itu pernyataan Gus Dur, Ketua Umum PBNU, seperti
dimuat majalah mingguan Tempo edisi 11 April 1987. Pernyataan itu disampaikan
menjelang Pemilu 1987 dan pasca-NU secara legal-formal menyatakan kembali ke
Khittah 1926 sesuai keputusan muktamar NU ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi'iyah
Asembagus Situbondo, Jatim pada 1984. NU menjaga jarak yang sama dengan ketiga
kekuatan sosial yang ada (PPP, Golkar, dan PDI). NU ada di mana-mana dan NU tak
ke mana-mana.
Sesuai keputusan muktamar Situbondo itu, NU
bercerai dengan PPP. Realitas ini tak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan
kalangan NU terhadap kepemimpinan di PPP di bawah Ketua Umum HJ Naro dan Sekjen
Mardinsyah, terutama terkait dengan penyusunan daftar caleg Pemilu 1987 dan
makin menyusutnya kursi faksi NU di DPR RI. Massa NU menjadi floating mass
pascakeputusan Situbondo tersebut dan tak wajib menyalurkan aspirasi politiknya
ke PPP.
Kebijakan ini, secara langsung maupun tak
langsung, menguntungkan Golkar dan PDI. "Jurkam PPP yang masih menyatakan
mereka masih partai Islam dan masih ada hubungan dengan NU, seharusnya
dilarang," tegas Gus Dur. Menurut Gus Dur, memikat massa NU dengan cara
yang dilakukan PPP itu, "Tidak fair. Selain bertentangan dengan UU Parpol
dan Golkar, juga dengan kenyataan muktamar Situbondo."
Maka menjelang Pemilu 1987, di Jatim tercatat
sudah 900-an kali pengajian diadakan NU di sana. Di mana dalam pengajian itu
tak luput disinggung tentang posisi baru NU yang tak lagi terikat dengan PPP.
"Percuma susah-susah kampanye kalau malamnya digembosi," gerutu H
Umar Buang, anggota Panwaslak Tingkat I Jatim dari PPP seperti ditulis Tempo.
Kita semua tahu bahwa penggembosan politik yang
dilakukan tokoh dan kiai NU terhadap PPP pada Pemilu 1987 sangat efektif.
Jumlah kursi PPP yang semula 90 kursi lebih hasil Pemilu 1982 melorot drastis
menjadi sekitar 60 kursi di Pemilu 1987. Yang memperoleh banyak tambahan kursi
dari jebloknya prestasi politik PPP adalah Golkar dan ada sedikit tambahan
kursi ke PDI.
Sejumlah tokoh dan kiai NU yang bergerak aktif
menggembosi PPP di antaranya KH Yusuf Hasyim (almarhum), Mahbub Djunaidi, KH
Saifuddin Zuhri (almarhum) dan lainnya. Secara politik, penggembosan NU
terhadap PPP tersebut boleh dikatakan menaikkan pamor NU dan meningkatkan daya
tawar politik ormas Islam Tradisional ini. Dalam pandangan pengamat politik
LIPI Dr Alfian, NU memasang jerat cukup banyak. Secara negatif mengempiskan
PPP, sccara positif mencari bargaining position di kubu yang lain dengan lebih
baik. Selain itu, dengan penerapan Khittah 1926 secara istiqomah, pengaruh kiai
yang beyond politics ini merupakan saluran aspirasi Islam yang lebih bebas
hambatan dibanding lewat mekanisme formal.
*****
Penggembosan politik di Pemilu 1987 bukan
merupakan fenomena politik di Indonesia yang pertama dan terakhir. Menjelang
Pemilu 2009, ada satu fenomena yang mirip dengan Pemilu 1987: terjadinya
praktik politik penggembosan. Elite PKB (NU) yang terlibat dalam aksi
penggembosan tersebut. Saat itu, PKB terbelah dalam dua kutub: PKB pimpinan
Muhaimin Iskandar dengan Ketua Dewan Syuro KH Abdul Azis dari Pondok Pacul
Gowang, Jombang. Di sisi lain, ada PKB hasil MLB Parung, Bogor dengan Ketua
Dewan Syuro KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Ketua Umum Dewan Tandfiziyah Ali
Masykur Musa.
Saat itu, menjelang Pemilu 2009, Gus Dur
mendeklarasikan koalisi PKB yang dipimpinnya dengan Partai Gerindra, dengan
tokoh utama Letjen Purn Prabowo Subianto. Perintah Gus Dur sangat jelas dan
tegas: berikan suara warga NU dan PKB di Jatim kepada Partai Gerindra. Bukan
kepada PKB pimpinan Cak Imin maupun partai lainnya di daerah pemilihan Jatim.
Manuver Gus Dur itu, kenyataannya, sungguh efektif. PKB Jatim yang di Pemilu
2004 mampu merengkuh sekitar 32 kursi di DPRD Jatim, pada Pemilu 2009 hanya
menyisakan 13 kursi. Partai Gerindra sebagai kekuatan politik baru memperoleh 9
kursi.
Kalau di Jatim, Gus Dur bergandengan dengan
Partai Gerindra untuk menggembosi PKB pimpinan Kiai Azis dan Cak Imin,
menjelang Pemilu 2009, di Jateng Gus Dur telah bertemu dengan Ketua PDIP
setempat Murdoko. Selama ini PDIP merupakan kekuatan politik terbesar di
Jateng. Hasil Pemilu 2009 memperlihatkan PDIP tetap menjadi pemenang dan
kekuatan utama di Jateng dan suara PKB Jateng jeblok dibanding hasil Pemilu
2004.
****
Menjelang Pemilu 2014, Yeni Wahid--salah putri
anak Gus Dur--sempat dikabarkan hendak merapat ke Partai Demokrat pimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yeni direncanakan masuk dan menduduki satu
posisi strategis di DPP Demokrat. Fakta politik menunjukkan, putri Gus Dur itu
urung masuk ke Demokrat dan hanya menyelipkan sejumlah kader terbaik PKBIB ke
sejumlah partai.
Saat jumpa pers pada Rabu (17/4/2013) kemarin,
Yeni Wahid mengatakan bahwa dia batal masuk ke Demokrat dan berada di luar
gelanggang politik kepartaian. Namun demikian, dia mengisyaratkan bakal
membantu kampanye sejumlah kader PKBIB yang bergabung ke sejumlah partai
berbeda di Pemilu 2014. Yeni Wahid mengingatkan agar kader, simpatisan, dan
massa pendukungnya tak mendukung PKB dan PKS di Pemilu 2014.
Secara sederhana, manuver politik Yeni Wahid itu
bisa dikatakan merupakan penggembosan politik terhadap kedua partai itu,
terutama PKB. Mungkin manuver politik itu tak begitu besar pengaruhnya bagi
PKS. Sebab, partai yang kini dipimpin M Anis Matta itu secara kultural dan
historis tak begitu dekat dengan warga NU sejak kelahirannya.
Di sisi lain, manuver politik Yeni Wahid itu
mesti dikalkulasi dan diperhitungkan secara cermat oleh politikus dan elite
PKB, terutama politikus PKB yang masuk daftar caleg dari dapil di Jatim dan
Jateng. Dua teritori politik paling penting bagi PKB mengingat besarnya massa
Nahdliyyin di sana.
Apakah manuver politik Yeni Wahid itu bisa
berubah menjadi penggembosan politik ketiga dalam ranah politik nasional? Yeni
Wahid itu memang bukan Gus Dur-Ayahandanya- dan sejumlah elite strategis NU
yang melakukan penggembosan terhadap PPP di Pemilu 1987. Pengaruh politik Yeni
Wahid juga, kemungkinan besar, tak sebesar dan tak sekuat Gus Dur.
Tapi, bagaimana pun juga pengagum Gus Dur di
Jatim, Jateng, Jabar, dan provinsi lainnya sangat besar. Tak menutup
kemungkinan aspirasi politik mereka diletakkan atas landasan pendekatan nasab
politik tokoh tertentu (Gus Dur). Jadi, pengagum Gus Dur tetap menapaktilasi
garis keturunan mantan Ketua Umum PBNU tersebut dalam konteks aktualisasi
aspirasi politik. Pemilih dengan karakter politik seperti ini yang kemungkinan
besar mengikuti garis politik yang disampaikan Yeni Wahid, kendati kiai dan
warga NU saat ini lebih otonom dalam konteks aktualisasi politiknya. [air]
Penulis Ainur Rohim (Penanggung Jawab beritajatim.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar