"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa" [QS. Al-Baqarah; 183]
Setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah SWT. ke atas kita seperti puasa, solat, zakat, haji dan lain-lain lagi, selain merupakan jalan untuk kita mendekatkan diri kita kepadaNya dan tunduk kepada perintahNya serta menyahut seruanNya, ibadah juga memiliki nilai-nilai sampingan yang amat penting kembali kepada diri kita sendiri mahupun kepada masyarakat. Ia akan memberi kesan yang positif dan tarbiyah yang baik untuk individu mahupun masyarakat keseluruhannya. Puasa adalah salah satu darinya yang memberi tarbiyah secara individu mahupun masyarakat. Hal ini akan tampak jelas setelah kita membahas topik ini.
Selain dari itu, Islam adalah agama fitrah dan setiap perintah dari Allah adalah arahan-arahan yang menghidupkan fitrah dan menjawab keperluan fitrah yang ada dalam diri manusia. Amalan berpuasa adalah salah satu dari hal yang datang dari fitrah manusia, sebagaimana fitrah ‘bertuhan’ dan beragama. Hal ini boleh kita saksikan dalam masyarakat beragama mahupun yang tidak beragama. Mereka melakukan puasa dengan cara-cara tertentu yang mana sebahagiannya memiliki persamaan dengan yang lain, khususnya agama-agama samawi (langit) seperti Islam, Kristian dan Yahudi. Oleh itu kita boleh mendefinasikan manusia sebagai haiwan yang berpuasa menambah definasi-definasi yang lain seperti ‘haiwan yang berfikir’, ‘haiwan yang bersosial’ dan ‘haiwan yang beragama’.
Hidup itu seperti musik, yang harus di komposisi oleh telinga, perasaan dan instink, bukan oleh "peraturan"
Rabu, 04 Agustus 2010
Selasa, 20 Juli 2010
Kitab at-Tauhid
Dalam ranah Ilmu Kalam, al-Maturidi adalah nama yang sudah tidak asing lagi. Ia adalah pendiri aliran Maturidiyyah yang diketegorikan sebagai representasi teologi ahli sunnah, di samping Asy’ariyyah yang digawangi Abu al-Hasan al-Asy’ari. Al-Maturidi dikenal sebagai seorang teolog, dan faqih dari Madzhab Hanafi, bahkan seorang ahli tafsir.
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah desa (qaryah) yang masuk ke dalam wilayah Samarqand. Ia acap kali dijuluki Imam al-Mutakallimin (Imam Para Teolog) dan masih banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan kelas intelektual dan jihadnya dalam membela sunnah, akidah, dan menghidupkan syari’at Islam.
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah desa (qaryah) yang masuk ke dalam wilayah Samarqand. Ia acap kali dijuluki Imam al-Mutakallimin (Imam Para Teolog) dan masih banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan kelas intelektual dan jihadnya dalam membela sunnah, akidah, dan menghidupkan syari’at Islam.
Rabu, 14 Juli 2010
Pesantren Masa Depan
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara (Ensiklopedi Islam, 2005). Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf, dan akidah.
Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.
Label:
Opini
Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren ; Sebuah Pilihan Sejarah
Pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22). Kenyataan ini nampaknya amat begitu diinsafi oleh para designer awal dan founding fathers bangsa ini, hingga kemudian cita-cita yang megkristal dalam tujuan pendidikan nasional (Mukaddimah UUD '45) kita, betul-betul terarah ke pengertian seperti itu.
Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.
Label:
Pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)