Oleh: Coel Ipins
Prolog
Agama dibutuhkan sebagai
upaya manusia untuk hidup dalam keadaan damai. Dalam Islam sendiri kedamaian
tidak hanya kita butuhkan di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Nilai agama
itu harus senantiasa masuk dalam setiap langkah kehidupan kita, baik dalam konteks
bermasyarakat, berbangsa maupun beragama. Maka pandangan orang beragama
terhadap suatu negara, misalkan, akan sangat berbeda dengan pandangan orang
yang tidak beragama.
Sikap prilaku manusia,
termasuk tata laku beragama, merupakan buah hasil dari hubungan dinamika timbal
balik (resiprokal) antara tiga faktor. Ketiga-tiganya memainkan peranan dalam
melahirkan tindakan insani, walaupun dalam tindakan antara satu faktor dan yang
lain lebih besar peranannya dan dalam tindakan yang lain faktor lain juga lebih
berperan. Ketika faktor dimaksud adalah a) sebuah gerak atau dorongan yang
secara spontan dan alamiah terjadi pada manusia; b) ke-aku-an manusia sebagai
inti-pusat kepribadiannya; dan c) situasi manusia atau lingkungan hidupnya.
Agama
Kilasan etimologi agama
membawa kita bersentuhan dengan bahasa sansakerta. Ada berbagai macam teori
tentang asal kata ini. Salah satunya menguraikan bahwa akar kata agama berasal
dari gam yang mendapat awalan a dan akhiran a.
Ada pula yang memperoleh keterangan dengan mendapat awalan i,
jadilah i-gam-a dan awalan u, menjadi ugama.
Menurut penelitian para
ahli, ketiga kata tersebut juga ditemukan dalam bahasa Bali. Agama artinya
peraturan, tata cara upacara-upacara dalam konteks hubungan rakyat dengan raja. Igama menunjukkan
hubungan manusia dengan dewa-dewa dan ugama memberi penjelasan
hubungan manusia dengan sesamanya (manusia). (E. Mustafa: 1991: 11)
Pengertian jalan
ditemukan sebagai arti dalam kebanyakan agama. Taoisme dan Sinto mengandung
arti jalan. Budhisme menyebut hukum-hukum pokoknya dengan dengan jalan. Nabi
Isa (Yesus) menyuruh para pengikutnya menurut jalannya. Syariat, tarikat dan
sirat dalam ajaran Islam juga mengandung arti jalan. Susuai dengan QS.
Al-Fatihah : 6. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Dalam pengertian umum,
agama adalah suatu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan yang berasal dari
seseorang atau beberapa orang dan berkembang menjadi suatu ajaran ke-Tuhanan
lengkap dengan cara peribadatanannya. Dalam pengertian Islam, agama
didefinisikan sebagai melakukan dan mentaati hukum-hukum dan
peraturan-peraturan (syariat) dari Allah sebagaimana disebut
dalam al-Qur’an dan dari RasulNya yang diurai di dalam hadits-hadits sebagai
contoh pelaksanaan penegakannya. (Saadan Rahmany: tt: 100). James Martineau
ikut memberikan definisi bahwa “agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang
selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta
dan mumpunyai hubungan moral dengan umat manusia. (Jalaluddin Rakhmat: 2003:
11)
Sebenarnya sangat sulit
mendapatkan definisi agama yang jami’ (memasukkan seluruh aspek dan unsur
agama) dan mani’ (menagasikan unsur dan aspek bukan agama ke dalam definisi).
Kesulitan ini terutama disebabkan agama dan keagamaan adalah masalah rasa
“pengalaman individual”, memungkinkan adanya pluralitas kekayaan rasa agama dan
keberagamaan diantara berbagai pemeluknya. Karena itu, para sarjana mengalihkan
dari persoalan definisi agama pada pengertian orang yang beragama.
Atas berbagai definisi
di atas, konsekuensinya agama terbagi kepada; 1) agama samawi (langit); disebut
oleh kepustakaan dengan revealed religion, dan 2) agama wadh’i
(kultur, kebudayaan); disebut oleh kepustakaan dengan natural religion.
(Fuad Ihsan: 2010: 75)
Budaya
Kata budaya berasal dari
kata sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jama’ dari buddhi yang
berarti akal atau budi. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan dengan
hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata
budaya sebagai suatu perkembangan dari perkataan budi-daya, yang berarti daya
dari budi. Oleh karena itu, mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Jadi,
budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa.
(Koentjaningrat, 1986: 35)
Para ahli menjelaskan
tentang budaya dan kebudayaan beraneka ragam. Klockhohn dan Kroeber mengjimpun
definisi-definisi yang dapat dikumpulkan dalam buku mereka Culture: A
Critical Review of Concepts and Definition. Mereka sampai pada jumlah 160
definisi. (Fuad Ihsan: 2010: 67)
Titik persamaan
definisi-definisi yang dirummuskan oleh ahli-ahli adalah manusia. Berdasarkan
definisi itu dapat disimpulkan bahwa soal kebudayaan adalah soal manusia. Maju
selangkah lagi dapat kita katakan, bahwa manusialah yang berkubudayaan. Apakah
mahluk-mahluk lain, hewan misalnya, tidak berkebudayaan? Serempak
definisi-definisi itu menyimpulkan: TIDAK!
Kenapa manusia
berkebudayaan tapi hewan tidak? Karena manusia memiliki sesuatu yang esensial
yang tidak ada pada hewan. Manusia mempunyai roh atau jiwa, yang menyatakan
diri pada berfikir dan merasa rohaniah. Hewan memang mempunyai otak tapi
otaknya tidak berfikir. Ia mempunyai hati, tapi aktivitasnya tidak membentuk
rasa rohaniah. Rupanya kehidupan batiniah atau rohanialah yang merupakan
pangkal kebudayaan.
Ilmu tentang manusia
yang diistilahkan orang dengan antropologi terbagi dua. Apabila kita memandang
manusia dari segi jasmaninya, maka kita memasuki lapangan antropologi fisik.
Tapi kalau ia kita pandang dari segi roganiahnya, kita memasuki medan
antropologi kebudayaan atau dipendekkan orang dengan antropologi budaya.
Suatu kebudayaan
merupakan cara berfikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh
segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu
ruang dan waktu. Cara berfikir dan merasa itu menyatakan diri dalam berlaku dan
berbuat. Dengan demikian, definisi itu dapat diperpendek menjadi: “cara berlaku
atau berbuat dalam kehidupan. Kependekan ini dapat diperpendek lagi: cara hidup (way
of life). Jadi, kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. Kehidupan begitu
luas, sehingga menjadi kabur pengertiannya. Untuk lebih jelas dapat mengambil
suatu kesipulan tentang kehidupan, ia dapat kita bagi dalam sejumlah segi atau
faset. Segi kehidupan yang kita maksud identitas dengan apa yang diistilahkan
oleh antropologi: kultur universal (universal culture).
Dengan kultur universal,
yaitu segi-segi kebudayaan yang universal ditemukan dalam tiap kebudayaan. Ada
bermacam teori tentang pembagian kultur universal. Kuntjaraningrat misalnya
membagi kebudayaan pada tujuh faset, yaitu: peralatan dan perlengkapan hidup
manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Dalam bahasan
lain, kebudayaan didasarkan pada keyakinan baik-buruk, benar-salah, dan
indah-jelek. (Brameld: 1957: 12).
Faktor budaya
berpengaruh dominan dalam proses penilaian. Hal ini dapat dilihat dalam
kehidupan, bahwa cara penilaian sesama warga masyarakat dari lingkungan budaya
yang sama atas objek yang sama, maka hasilnya kurang lebih sama. (Wisnu
Trihanggoro: 1994: 50). Jadi NILAI sebagai konsep ukuran bagian dari
kebudayaan.[1]
Kenyataan demikian
justru harus disadari agar seseorang mau terbuka, terus menerus mengadakan
dialog dengan lingkungan, dengan sistem keyakinan yang dianut, dengan hasil
penilaian yang telah dibuat dengan budaya atau nilai-nilai yang baru yang
hadir. Dialog dengan lingkungan akan memunculkan suatu pemahaman yang lebih
kaya atas objek-objek bernilai dan konsep ukuran yang diyakini juga akan lebih
kaya.
Penutup
Tidak ada manusia yang
tidak butuh Tuhan, siapapun dia, di manapun ia, dalam kondisi apapun manusia
tak dapat lepas dari mengharap pada penciptanya. Bahkan seorang atheis
sekalipun, mulhid, bukan berarti tidak bertuhan, tapi tidak mengakui bahwa
untuk “bertemu” dengan Tuhan harus melewati “proses birokrasi” sebagaimana yang
telah diatur dalam agama. Mereka berprinsip, Tuhan “tidak bisa” diperaturkan.
Tuhan tidak bodoh dan diperaturkan lewat ritual syariat. Itu bukan Tuhan, sebab
Tuhan maha kuasa lagi maha mengetahui.
Tak heran, jika dalam
sejarah kehidupan manusia , hampir tak ada suku bangsa yang tak bertuhan. Semua
suku bangsa bertuhan dan beragama menurut kemampuan daya jelajah imajinasi,
spiritual, pengalaman dan kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya
kekuatan yang ada dibalik segala sesuatu. Itulah Tuhan Sang Pencipta Alam.
Segala budi daya manusia dalam mencari Tuhannya mengalami perkembangan dari
hanya bentuk kepercayaan, secara bertahap berevolusi menjadi sebuah keyakinan,
dogma, tradisi, praktik dan ritual.
--------------------------------------------Semoga
Bermanfaat--------------------------------------------
Daftar Bacaan
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Bryan S. Turner, Religion and Social
Theory: A Materialist Perspevtive, London: Heinemann, 1983.
Djoko Surjo, dkk., Agama dan Perubahan
Sosial, Jogjakarta: LKPSM, 2001.
Eko Maulana AS, Energi Agama dalam Kuasa,
Bandung: Mutiara Press, 2008.
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta:
Rineka Cipta, 2010.
Mustafa E, Dasar-Dasar Islam,
Bandung: Angkasa, 1991.
Saadan Rahmany, Matahari Pagi,
Djakarta: Rahmani, tt.
[1] Nilai sebagai konsep ukuran yang diyakini seseorang
merupakan bagian dari kebudayaan. Konsep ukuran tersebut tidaklah bebas dari
penilaian. Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupakan objek bernilai yang
potensial untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penilaian seseorang
pada dasarnya merupakan penilaian yang bersifat sementara. Suatu
ketika seseorang dapat memutuskan hasil penilaian atas dasar konsep ukuran yang
telah diyakininya, namun hasil penilaian itu akan berubah seiring dengan
berubah atau berkembangnya konsep ukuran yang diyakininya. Hasil penilaian
seseorang memang dapat berubah, tapi tidak berarti bahwa seseorang tidak
mempunyai pendirian. Justru sangat berbahaya apabila seseorang tetap
mempertahankan nilai lama yang telah diyakininya, sedangkan nilai baru yang
lebih baik telah hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar