Sabtu, 26 Januari 2013

DAYA TAHAN DAN KONTINUITAS PESANTREN



Dunia pesantren, dengan meminjam istilah kerangka Hossein Nasr, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa dan tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum salaf, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Anehnya, istilah “salaf” juga digunakan oleh kalangan pesantren misalnya “pesantren salafiyah”. Walaupun dengan pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak belakang dengan pengertian umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan pesantren mengacu pada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktik Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawuf. Perbedaan pesantren dalam memahami pengertian “salaf” merupakan “Sistem Nilai di Pesantren dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”.

Di sisi lain, dalam pengertian lebih umum, kaum salafi adalah mereka yang memegang paham tentang “Islam yang murni” pada masa awal yang belum dipengaruhi bid’ah dan khurafat. Karena itulah kaum salafi di Indonesia sering menjadikan pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya sebagai sasaran kritik keras mereka, setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kiai dengan tasawuf atau tarekat. Bagi kaum salafi umumnya, tasawuf dan tarekat merupakan pandangan dunia dan pengalaman Islam yang bercampur bid’ah dan khurafat. Meski semacam ini masih terus terdengar sampai sekarang, tetapi pesantren tetap bertahan.
Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implicit mengisyaratkan bahwa  tradisi dunia Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi; meskipun sebagaimana dikemukakan di atas, bukan tanpa kompromi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat “enggan” dan “rikuh” dalam menerima moderinasi sehingga tercipta “kesenjangan pesantren dengan dunia luar”. Tapi secara gradual, sebagaimana telah disinggung di atas, pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas . Tetapi, semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan essensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren.
Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuaanya untuk  melakukan adjustment dan readjustment seperti terlihat di atas. Tetapi juga karena karakter eksistensialnya yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini bisa dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada suatu lingkungan tertentu, tapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pesantren pada umumnya “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara; tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi bahkan juga bimbingan sosial, cultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks terakhir inilah pesantren dengan kiai-nya memainkan peranan sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.
Tetapi, keterkaitan erat antara pesantren dengan komunitas lingkungannya yang dalam banyak hal terus bertahan hingga saat ini. Pada segi lain, justru dapat menjadi “beban” bagi pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum muslimin Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat pada pesantren tidak berkurang. Bahkan, sesuai dengan gelombang santrinisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat Indonesia. Harapan pada pesantren semakin meningkat, peran yang diharapkan (expected role) dimainkan pesantren semakin banyak. Pesantren diharapkan tidak hanya mampu menjalankan ketiga fungsi tradisionalnya di atas dan menjadi pusat pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga peran sosial lain, seperti menjadi “pusat rehabilitasi sosial”. Dalam konteks terakhir ini, bagi banyak keluarga yang mengalami kegoncangan atau krisis sosial-kegamaan, pesantren merupakan alternatif terbaik menyelamatkan anak-anak mereka.
Di sini sebuah pertanyaan penting patut diajukan; Mampukah pesantren memenuhi semua harapan itu? Jawab saya singkat saja; wa allahu a’lam bi al-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar