Senin, 14 Januari 2013

Potret Pesantren dalam Lintas Sejarah


Dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah “mendarah daging” di Indonesia. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13–17 M, dan di Jawa pada abad ke 15–16 M. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.[1]
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M,[2] kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini. Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syech Nawawi al-Banteni, Syaichona Muhammad Kholil, dan Hadratus Syaich Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.

Pondok pesantren juga terkenal dengan kebudayaannya yang khas, baik dari pola hidup yang bersahaja dan asketik, hingga tradisi pendidikan yang berkarakter. Tradisi pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.
Dalam hal ini, Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi pesantren, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran dan kesan aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah barat.[3]
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah pesantren, adigum المحافظة على قديم الصالح والأخد بالجديد الأصلح menjadi sebuah keniscayaan terhadap perubahan. Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya menjadi tidak begitu kelihatan. Snouck Hurgronje mengatakan:
“Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran “ulama” di abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental; tetapi perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap, demikian rumit dan demikian tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”[4]
Perkembangan dan perubahan yang dilakukan pondok pesantren, sebagai bentuk konstalasi dengan dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pondok pesantren tidak lagi dianggap statis dan mandeg. dinamika kehidupan pondok pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertainya. di antaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pendidikan pesantren. karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat.[5]
Lebih lanjut, dalam iklim kompetitif seperti sekarang ini, sulit bagi pesantren untuk hidup dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengubah diri dengan cepat dan mampu berkembang seiring dengan berbagai tuntutan stakeholder. kondisi ini berlaku hampir pada keseluruhan pesantren yang bersifat profit dan nonprofit. pesantren sebagai lembaga pendidikan yang termasuk lembaga nonprofit juga  tidak terlepas dari fenomena ini, itulah sebabnya dalam banyak hal pesantren harus mengetahui berbagai harapan dan kebutuhan stakeholder.
tak perlu disangkal, ketika banyak kalangan memandang lemah bahkan mengklaim problematika internal pondok pesantren terletak pada manajemen. terlepas dari keberhasilannya selama ini, pondok pesantren diakui, mampu mendidik para santrinya menjadi manusia yang shalih, menjadi mubaligh, serta para cendekiawan yang kemudian menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, baik formal maupun informal yang kini tersebar di seluruh pelosok nusantara ini.[6]
Secara umum pengelolaan manajemen di pesantren kurang diperhatikan secara serius, karena pesantren sebagai lembaga tradisional, dengan wataknya yang bebas, sehingga pola pembinaannya hanya tergantung pada kehendak dan kecenderungan pimpinan saja. padahal sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren tersebut.
Berangkat dari itu, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih intensif tentang pengelolaan yang ada di pesantren beserta faktor determinasinya, untuk menghasilkan data yang akurat, valid, dan objektif, sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan dengan semangat ilmiah yang bebas nilai.


[1] Depag, 2003. 8
[2] Ada yang berpendapat pada abad 15. lihat Khamami Zada dkk, Intelektualisme Pesantren,. (Jakarta; Diva Pustaka. 2003), 14. Kemudian ada yang mengatakan pada abad ke 13, Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta; Diva Pustaka. 2003). 1
[3] Karel A Steenbring, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta; LP3ES, 2002), 8
[4] Zamakhsyari Dhofier,  Tradisi Pesantren, (Jakarta; LP3ES, 1983), 2
[5] Aqiel, Siraj, Sa’id, Pesantren Masa Depan, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1999), 181
[6] Mahpuddin, Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung; Humaniora, 2006), 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar