Kamis, 17 Januari 2013

KILAS PONDOK PESANTREN



Pondok pesantren[1] merupakan lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kyai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat lembaganya.[2] Lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous culture).[3] Maka, bukanlah kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai belahan dunia.
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi pendidikan yang mengajarkan agaman dan penekanan moral dipertanyakan. Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren ada dua macam. Pertama, mereka yang menyangsikan relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. Kedua, mereka yang justru melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[4]
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondokpesantren dalam hal ini; pertama, merevisi kurikulum  dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum.[5]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman akhlak al-karimah (moral) dan intelektual.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan; dewasa ini pendidikan Islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks. karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan dan semua itu mustahil tanpa manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini dilakukan tanpa perencanaan dan konsep yang matang seringkali berjalan apa adanya. alami dan tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yg kurang membanggakan.
Problematika yang dihadapi pondok pesantren dikarenakan adanya  kendala pada perencanaan pondok pesantren yang kurang optimal. sehingga dalam pelaksanaan fungsi tugasnya tdak berjalan sebagaimana yang diharapkan. juga  disebabkan  minimnya personil yang kompeten  pada  bidangnya,  dan  sumber  dana  kurang memadai.
Dalam penyusunan perencanaan program kerja hendaknya  diperhitungkan secara terperinci tentang kondisi obyektif pondok pesantren, pemasalahan, alternatif pemecahan, faktor pendukung dan penghambat program, prioritas pengembangan program, indikator keberhasilan dan langkah-langkah mencapai keberhasilan program, pengalokasian dan waktu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika perencanaan disusun dengan jelas dan bersifat terbuka serta rasional maka tujuan dapat mudah dicapai.


[1] Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut “pondok pesantren”. Lihat Mamfret Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta; P3M, tt), 116. Istilah “pondok” sendiri diambil dari bahasa Arab “funduk” yang berarti asrama atau hotel, sebab santri dalam belajar dengan cara mukim yang membutuhkan tempat tinggal sekaligus tempat belajar dalam jangka waktu yang lama. Lihat Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan HidupKyai, cet.VI, (Jakarta; LP3ES, 1994), 18
[2] Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, cet.V, (Jakarta; LP3ES, 1995), 87
[3] Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Adi Sasono, Didin Hafiduddin, AM. Saefuddin, dkk, Solusi Islam atas Problematika Umat, cet.I, (Jakarta; Gema Insani Pers, 1998). 101-171
[4] Muhammad Busyro, Problem Pengembangan Tradisi Pesantren, dalam Abdul Munir Mulkham, Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek), (Yogyakarta; Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998), 186-199
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar