Minggu, 21 April 2013

PENGEMBOSAN POLITIK EPISODE III?


Oleh: Ainur Rohim

"Saya ini seperti orang teler, setelah menenggak bir bintang langsung nyender di beringin, kemudian diseruduk banteng," tutur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika memberi sambutan pada acara perayaan Isra Miraj di Markas Golkar, Slipi, Jakarta menjelang Pemilu 1987.
Itulah gaya tokoh yang belum begitu lama duduk di pucuk pimpinan NU itu, di hadapan sekitar 2.000 undangan, termasuk Ketua Umum Golkar, Sudharmono dan Sekjennya, Sarwono. Dengan itu ia ingin menyatakan, NU berada di atas semua golongan.
Itu pernyataan Gus Dur, Ketua Umum PBNU, seperti dimuat majalah mingguan Tempo edisi 11 April 1987. Pernyataan itu disampaikan menjelang Pemilu 1987 dan pasca-NU secara legal-formal menyatakan kembali ke Khittah 1926 sesuai keputusan muktamar NU ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo, Jatim pada 1984. NU menjaga jarak yang sama dengan ketiga kekuatan sosial yang ada (PPP, Golkar, dan PDI). NU ada di mana-mana dan NU tak ke mana-mana. 

Sesuai keputusan muktamar Situbondo itu, NU bercerai dengan PPP. Realitas ini tak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan kalangan NU terhadap kepemimpinan di PPP di bawah Ketua Umum HJ Naro dan Sekjen Mardinsyah, terutama terkait dengan penyusunan daftar caleg Pemilu 1987 dan makin menyusutnya kursi faksi NU di DPR RI. Massa NU menjadi floating mass pascakeputusan Situbondo tersebut dan tak wajib menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. 
Kebijakan ini, secara langsung maupun tak langsung, menguntungkan Golkar dan PDI. "Jurkam PPP yang masih menyatakan mereka masih partai Islam dan masih ada hubungan dengan NU, seharusnya dilarang," tegas Gus Dur. Menurut Gus Dur, memikat massa NU dengan cara yang dilakukan PPP itu, "Tidak fair. Selain bertentangan dengan UU Parpol dan Golkar, juga dengan kenyataan muktamar Situbondo." 
Maka menjelang Pemilu 1987, di Jatim tercatat sudah 900-an kali pengajian diadakan NU di sana. Di mana dalam pengajian itu tak luput disinggung tentang posisi baru NU yang tak lagi terikat dengan PPP. "Percuma susah-susah kampanye kalau malamnya digembosi," gerutu H Umar Buang, anggota Panwaslak Tingkat I Jatim dari PPP seperti ditulis Tempo. 
Kita semua tahu bahwa penggembosan politik yang dilakukan tokoh dan kiai NU terhadap PPP pada Pemilu 1987 sangat efektif. Jumlah kursi PPP yang semula 90 kursi lebih hasil Pemilu 1982 melorot drastis menjadi sekitar 60 kursi di Pemilu 1987. Yang memperoleh banyak tambahan kursi dari jebloknya prestasi politik PPP adalah Golkar dan ada sedikit tambahan kursi ke PDI. 
Sejumlah tokoh dan kiai NU yang bergerak aktif menggembosi PPP di antaranya KH Yusuf Hasyim (almarhum), Mahbub Djunaidi, KH Saifuddin Zuhri (almarhum) dan lainnya. Secara politik, penggembosan NU terhadap PPP tersebut boleh dikatakan menaikkan pamor NU dan meningkatkan daya tawar politik ormas Islam Tradisional ini. Dalam pandangan pengamat politik LIPI Dr Alfian, NU memasang jerat cukup banyak. Secara negatif mengempiskan PPP, sccara positif mencari bargaining position di kubu yang lain dengan lebih baik. Selain itu, dengan penerapan Khittah 1926 secara istiqomah, pengaruh kiai yang beyond politics ini merupakan saluran aspirasi Islam yang lebih bebas hambatan dibanding lewat mekanisme formal. 

*****
Penggembosan politik di Pemilu 1987 bukan merupakan fenomena politik di Indonesia yang pertama dan terakhir. Menjelang Pemilu 2009, ada satu fenomena yang mirip dengan Pemilu 1987: terjadinya praktik politik penggembosan. Elite PKB (NU) yang terlibat dalam aksi penggembosan tersebut. Saat itu, PKB terbelah dalam dua kutub: PKB pimpinan Muhaimin Iskandar dengan Ketua Dewan Syuro KH Abdul Azis dari Pondok Pacul Gowang, Jombang. Di sisi lain, ada PKB hasil MLB Parung, Bogor dengan Ketua Dewan Syuro KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Ketua Umum Dewan Tandfiziyah Ali Masykur Musa. 
Saat itu, menjelang Pemilu 2009, Gus Dur mendeklarasikan koalisi PKB yang dipimpinnya dengan Partai Gerindra, dengan tokoh utama Letjen Purn Prabowo Subianto. Perintah Gus Dur sangat jelas dan tegas: berikan suara warga NU dan PKB di Jatim kepada Partai Gerindra. Bukan kepada PKB pimpinan Cak Imin maupun partai lainnya di daerah pemilihan Jatim. Manuver Gus Dur itu, kenyataannya, sungguh efektif. PKB Jatim yang di Pemilu 2004 mampu merengkuh sekitar 32 kursi di DPRD Jatim, pada Pemilu 2009 hanya menyisakan 13 kursi. Partai Gerindra sebagai kekuatan politik baru memperoleh 9 kursi. 
Kalau di Jatim, Gus Dur bergandengan dengan Partai Gerindra untuk menggembosi PKB pimpinan Kiai Azis dan Cak Imin, menjelang Pemilu 2009, di Jateng Gus Dur telah bertemu dengan Ketua PDIP setempat Murdoko. Selama ini PDIP merupakan kekuatan politik terbesar di Jateng. Hasil Pemilu 2009 memperlihatkan PDIP tetap menjadi pemenang dan kekuatan utama di Jateng dan suara PKB Jateng jeblok dibanding hasil Pemilu 2004. 

****
Menjelang Pemilu 2014, Yeni Wahid--salah putri anak Gus Dur--sempat dikabarkan hendak merapat ke Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yeni direncanakan masuk dan menduduki satu posisi strategis di DPP Demokrat. Fakta politik menunjukkan, putri Gus Dur itu urung masuk ke Demokrat dan hanya menyelipkan sejumlah kader terbaik PKBIB ke sejumlah partai. 
Saat jumpa pers pada Rabu (17/4/2013) kemarin, Yeni Wahid mengatakan bahwa dia batal masuk ke Demokrat dan berada di luar gelanggang politik kepartaian. Namun demikian, dia mengisyaratkan bakal membantu kampanye sejumlah kader PKBIB yang bergabung ke sejumlah partai berbeda di Pemilu 2014. Yeni Wahid mengingatkan agar kader, simpatisan, dan massa pendukungnya tak mendukung PKB dan PKS di Pemilu 2014. 
Secara sederhana, manuver politik Yeni Wahid itu bisa dikatakan merupakan penggembosan politik terhadap kedua partai itu, terutama PKB. Mungkin manuver politik itu tak begitu besar pengaruhnya bagi PKS. Sebab, partai yang kini dipimpin M Anis Matta itu secara kultural dan historis tak begitu dekat dengan warga NU sejak kelahirannya.
Di sisi lain, manuver politik Yeni Wahid itu mesti dikalkulasi dan diperhitungkan secara cermat oleh politikus dan elite PKB, terutama politikus PKB yang masuk daftar caleg dari dapil di Jatim dan Jateng. Dua teritori politik paling penting bagi PKB mengingat besarnya massa Nahdliyyin di sana. 
Apakah manuver politik Yeni Wahid itu bisa berubah menjadi penggembosan politik ketiga dalam ranah politik nasional? Yeni Wahid itu memang bukan Gus Dur-Ayahandanya- dan sejumlah elite strategis NU yang melakukan penggembosan terhadap PPP di Pemilu 1987. Pengaruh politik Yeni Wahid juga, kemungkinan besar, tak sebesar dan tak sekuat Gus Dur. 
Tapi, bagaimana pun juga pengagum Gus Dur di Jatim, Jateng, Jabar, dan provinsi lainnya sangat besar. Tak menutup kemungkinan aspirasi politik mereka diletakkan atas landasan pendekatan nasab politik tokoh tertentu (Gus Dur). Jadi, pengagum Gus Dur tetap menapaktilasi garis keturunan mantan Ketua Umum PBNU tersebut dalam konteks aktualisasi aspirasi politik. Pemilih dengan karakter politik seperti ini yang kemungkinan besar mengikuti garis politik yang disampaikan Yeni Wahid, kendati kiai dan warga NU saat ini lebih otonom dalam konteks aktualisasi politiknya. [air]

Penulis Ainur Rohim  (Penanggung Jawab beritajatim.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar