Sabtu, 29 September 2012

Peran Agama dan Budaya Dalam Mengatasi Dekadensi Moral Bangsa



Oleh: Coel Ipins

Prolog
Agama dibutuhkan sebagai upaya manusia untuk hidup dalam keadaan damai. Dalam Islam sendiri kedamaian tidak hanya kita butuhkan di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Nilai agama itu harus senantiasa masuk dalam setiap langkah kehidupan kita, baik dalam konteks bermasyarakat, berbangsa maupun beragama. Maka pandangan orang beragama terhadap suatu negara, misalkan, akan sangat berbeda dengan pandangan orang yang tidak beragama.
Sikap prilaku manusia, termasuk tata laku beragama, merupakan buah hasil dari hubungan dinamika timbal balik (resiprokal) antara tiga faktor. Ketiga-tiganya memainkan peranan dalam melahirkan tindakan insani, walaupun dalam tindakan antara satu faktor dan yang lain lebih besar peranannya dan dalam tindakan yang lain faktor lain juga lebih berperan. Ketika faktor dimaksud adalah a) sebuah gerak atau dorongan yang secara spontan dan alamiah terjadi pada manusia; b) ke-aku-an manusia sebagai inti-pusat kepribadiannya; dan c) situasi manusia atau lingkungan hidupnya.

Agama
Kilasan etimologi agama membawa kita bersentuhan dengan bahasa sansakerta. Ada berbagai macam teori tentang asal kata ini. Salah satunya menguraikan bahwa akar kata agama berasal dari gam yang mendapat awalan a dan akhiran a. Ada pula yang memperoleh keterangan  dengan mendapat awalan i, jadilah i-gam-a dan awalan u, menjadi ugama.
Menurut penelitian para ahli, ketiga kata tersebut juga ditemukan dalam bahasa Bali. Agama artinya peraturan, tata cara upacara-upacara dalam konteks hubungan rakyat dengan raja. Igama menunjukkan hubungan manusia dengan dewa-dewa dan ugama memberi penjelasan hubungan manusia dengan sesamanya (manusia). (E. Mustafa: 1991: 11)
Pengertian jalan ditemukan sebagai arti dalam kebanyakan agama. Taoisme dan Sinto mengandung arti jalan. Budhisme menyebut hukum-hukum pokoknya dengan dengan jalan. Nabi Isa (Yesus) menyuruh para pengikutnya menurut jalannya. Syariat, tarikat dan sirat dalam ajaran Islam juga mengandung arti jalan. Susuai dengan QS. Al-Fatihah : 6. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Dalam pengertian umum, agama adalah suatu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan yang berasal dari seseorang atau beberapa orang dan berkembang menjadi suatu ajaran ke-Tuhanan lengkap dengan cara peribadatanannya. Dalam pengertian Islam, agama didefinisikan sebagai melakukan dan  mentaati hukum-hukum dan peraturan-peraturan (syariat) dari Allah sebagaimana disebut dalam al-Qur’an dan dari RasulNya yang diurai di dalam hadits-hadits sebagai contoh pelaksanaan penegakannya. (Saadan Rahmany: tt: 100). James Martineau ikut memberikan definisi bahwa “agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mumpunyai hubungan moral dengan umat manusia. (Jalaluddin Rakhmat: 2003: 11)
Sebenarnya sangat sulit mendapatkan definisi agama yang jami’ (memasukkan seluruh aspek dan unsur agama) dan mani’ (menagasikan unsur dan aspek bukan agama ke dalam definisi). Kesulitan ini terutama disebabkan agama dan keagamaan adalah masalah rasa “pengalaman individual”, memungkinkan adanya pluralitas kekayaan rasa agama dan keberagamaan diantara berbagai pemeluknya. Karena itu, para sarjana mengalihkan dari persoalan definisi agama pada pengertian orang yang beragama.
Atas berbagai definisi di atas, konsekuensinya agama terbagi kepada; 1) agama samawi (langit); disebut oleh kepustakaan dengan revealed religion, dan 2) agama wadh’i (kultur, kebudayaan); disebut oleh kepustakaan dengan natural religion. (Fuad Ihsan: 2010: 75)

Budaya
Kata budaya berasal dari kata sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jama’ dari buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari perkataan budi-daya, yang berarti daya dari budi. Oleh karena itu, mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Jadi, budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. (Koentjaningrat, 1986: 35)
Para ahli menjelaskan tentang budaya dan kebudayaan beraneka ragam. Klockhohn dan Kroeber mengjimpun definisi-definisi yang dapat dikumpulkan dalam buku mereka Culture: A Critical Review of Concepts and Definition. Mereka sampai pada jumlah 160 definisi. (Fuad Ihsan: 2010: 67)
Titik persamaan definisi-definisi yang dirummuskan oleh ahli-ahli adalah manusia. Berdasarkan definisi itu dapat disimpulkan bahwa soal kebudayaan adalah soal manusia. Maju selangkah lagi dapat kita katakan, bahwa manusialah yang berkubudayaan. Apakah mahluk-mahluk lain, hewan misalnya, tidak berkebudayaan? Serempak definisi-definisi itu menyimpulkan: TIDAK!
Kenapa manusia berkebudayaan tapi hewan tidak? Karena manusia memiliki sesuatu yang esensial yang tidak ada pada hewan. Manusia mempunyai roh atau jiwa, yang menyatakan diri pada berfikir dan merasa rohaniah. Hewan memang mempunyai otak tapi otaknya tidak berfikir. Ia mempunyai hati, tapi aktivitasnya tidak membentuk rasa rohaniah. Rupanya kehidupan batiniah atau rohanialah yang merupakan pangkal kebudayaan.
Ilmu tentang manusia yang diistilahkan orang dengan antropologi terbagi dua. Apabila kita memandang manusia dari segi jasmaninya, maka kita memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi kalau ia kita pandang dari segi roganiahnya, kita memasuki medan antropologi kebudayaan atau dipendekkan orang dengan antropologi budaya.
Suatu kebudayaan merupakan cara berfikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Cara berfikir dan merasa itu menyatakan diri dalam berlaku dan berbuat. Dengan demikian, definisi itu dapat diperpendek menjadi: “cara berlaku atau berbuat dalam kehidupan. Kependekan ini dapat diperpendek lagi: cara hidup (way of life). Jadi, kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. Kehidupan begitu luas, sehingga menjadi kabur pengertiannya. Untuk lebih jelas dapat mengambil suatu kesipulan tentang kehidupan, ia dapat kita bagi dalam sejumlah segi atau faset. Segi kehidupan yang kita maksud identitas dengan apa yang diistilahkan oleh antropologi: kultur universal (universal culture).
Dengan kultur universal, yaitu segi-segi kebudayaan yang universal ditemukan dalam tiap kebudayaan. Ada bermacam teori tentang pembagian kultur universal. Kuntjaraningrat misalnya membagi kebudayaan pada tujuh faset, yaitu: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Dalam bahasan lain, kebudayaan didasarkan pada keyakinan baik-buruk, benar-salah, dan indah-jelek. (Brameld: 1957: 12).
Faktor budaya berpengaruh dominan dalam proses penilaian. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan, bahwa cara penilaian sesama warga masyarakat dari lingkungan budaya yang sama atas objek yang sama, maka hasilnya kurang lebih sama. (Wisnu Trihanggoro: 1994: 50). Jadi NILAI sebagai konsep ukuran bagian dari kebudayaan.[1]
Kenyataan demikian justru harus disadari agar seseorang mau terbuka, terus menerus mengadakan dialog dengan lingkungan, dengan sistem keyakinan yang dianut, dengan hasil penilaian yang telah dibuat dengan budaya atau nilai-nilai yang baru yang hadir. Dialog dengan lingkungan akan memunculkan suatu pemahaman yang lebih kaya atas objek-objek bernilai dan konsep ukuran yang diyakini juga akan lebih kaya.

Penutup
Tidak ada manusia yang tidak butuh Tuhan, siapapun dia, di manapun ia, dalam kondisi apapun manusia tak dapat lepas dari mengharap pada penciptanya. Bahkan seorang atheis sekalipun, mulhid, bukan berarti tidak bertuhan, tapi tidak mengakui bahwa untuk “bertemu” dengan Tuhan harus melewati “proses birokrasi” sebagaimana yang telah diatur dalam agama. Mereka berprinsip, Tuhan “tidak bisa” diperaturkan. Tuhan tidak bodoh dan diperaturkan lewat ritual syariat. Itu bukan Tuhan, sebab Tuhan maha kuasa lagi maha mengetahui.
Tak heran, jika dalam sejarah kehidupan manusia , hampir tak ada suku bangsa yang tak bertuhan. Semua suku bangsa bertuhan dan beragama menurut kemampuan daya jelajah imajinasi, spiritual, pengalaman dan kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada dibalik segala sesuatu. Itulah Tuhan Sang Pencipta Alam. Segala budi daya manusia dalam mencari Tuhannya mengalami perkembangan dari hanya bentuk kepercayaan, secara bertahap berevolusi menjadi sebuah keyakinan, dogma, tradisi, praktik dan ritual.

--------------------------------------------Semoga Bermanfaat--------------------------------------------

Daftar Bacaan
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Bryan S. Turner, Religion and Social Theory: A Materialist Perspevtive, London: Heinemann, 1983.
Djoko Surjo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial, Jogjakarta: LKPSM, 2001.
Eko Maulana AS, Energi Agama dalam Kuasa, Bandung: Mutiara Press, 2008.
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Mustafa E, Dasar-Dasar Islam, Bandung: Angkasa, 1991.
Saadan Rahmany, Matahari Pagi, Djakarta: Rahmani, tt.



[1] Nilai sebagai konsep ukuran yang diyakini seseorang merupakan bagian dari kebudayaan. Konsep ukuran tersebut tidaklah bebas dari penilaian. Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupakan objek bernilai yang potensial untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penilaian seseorang pada dasarnya merupakan  penilaian yang bersifat sementara. Suatu ketika seseorang dapat memutuskan hasil penilaian atas dasar konsep ukuran yang telah diyakininya, namun hasil penilaian itu akan berubah seiring dengan berubah atau berkembangnya konsep ukuran yang diyakininya. Hasil penilaian seseorang memang dapat berubah, tapi tidak berarti bahwa seseorang tidak mempunyai pendirian. Justru sangat berbahaya apabila seseorang tetap mempertahankan nilai lama yang telah diyakininya, sedangkan nilai baru yang lebih baik telah hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar