Rabu, 13 Juli 2011

MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN (Studi di PP. MUBA, Pamekasan)

A.     Latar Belakang Masalah
Dalam sejarahnya, tidak bisa dipungkiri, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah “mendarah daging” di Indonesia. Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13-17 M, dan di Jawa pada abad ke 15-16 M. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M,[1] kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini. Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syekh Nawawi al-Bantenî, Syaichona Muhammad Kholil, dan KH. Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.
Pondok pesantren juga terkenal dengan kebudayaannya yang khas, baik dari pola hidup yang bersahaja dan asketik, hingga tradisi pendidikan yang berkarakter. Tradisi pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.[2]
Dalam hal ini, Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi pesantren, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran dan kesan aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah barat.[3]
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah pesantren, adigum ”al-muhâfadzatu ’alâ al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-ashlah” di sebuah keniscayaan terhadap perubahan. Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya menjadi tidak begitu kelihatan. Snouck Hurgronje mengatakan:
“Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran “ulama” di abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental; tetapi perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap, demikian rumit dan demikian tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”[4]

Perkembangan dan perubahan yang dilakukan pondok pesantren, sebagai bentuk konstalasi dengan dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pondok pesantren tidak lagi dianggap statis dan mandeg. dinamika kehidupan pondok pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertainya. di antaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pendidikan pesantren. karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat.[5]
Lebih lanjut, dalam iklim kompetitif seperti sekarang ini, sulit bagi pesantren untuk hidup dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengubah diri dengan cepat dan mampu berkembang seiring dengan berbagai tuntutan stakeholder. kondisi ini berlaku hampir pada keseluruhan pesantren yang bersifat profit dan nonprofit. pesantren sebagai lembaga pendidikan yang termasuk lembaga nonprofit juga  tidak terlepas dari fenomena ini, itulah sebabnya dalam banyak hal pesantren harus mengetahui berbagai harapan dan kebutuhan stakeholder.
Tidak perlu disangkal, ketika banyak kalangan memandang lemah bahkan mengklaim problematika internal pondok pesantren terletak pada manajemen. terlepas dari keberhasilannya selama ini, pondok pesantren diakui, mampu mendidik para santrinya menjadi manusia yang shalih, menjadi mubaligh, serta para cendekiawan yang kemudian menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, baik formal maupun informal yang kini tersebar di seluruh pelosok nusantara ini.[6]
Secara umum pengelolaan manajemen di pesantren kurang diperhatikan secara serius, karena pesantren sebagai lembaga tradisional,[7] dengan wataknya yang bebas, sehingga pola pembinaannya hanya tergantung pada kehendak dan kecenderungan pimpinan saja. padahal sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren tersebut.
Berangkat dari itu, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih intensif tentang pengelolaan yang ada di pesantren beserta faktor determinasinya, untuk menghasilkan data yang akurat, valid, dan objektif, sehingga diharapkan mampu menjawab permasalahan dengan semangat ilmiah yang bebas nilai.

B.     Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi pada pengelolaan pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Panaan Palengaan Pamekasan.

C.     Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam proposal tesis ini praktis dan sistematis, maka masalah yang terdapat dalam penelitian ini perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, sebagai berikut:
1.      Bagaimana dinamika manajemen pendidikan Pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata?
2.      Model apa saja manajemen pendidikan Pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata?
3.      Komponen apa saja yang dikembangkan dalam manajemen pendidikan Pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata?
4.      Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan menunjang manajemen pendidikan Pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata?

D.    Tujuan Penelitian
Segala aktivitas yang dilakukan, pasti tidak terlepas dari tujuan atau maksud yang hendak dicapai, begitu juga dalam penelitian ini seperti yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi dalam bukunya Metodology Research, bahwa suatu research khususnya dalam ilmu pengetahuan emperik pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji suatu kebenaran ilmu pengetahuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pendidikan pesantren, bagaimanakah dinamika manajemen pendidikan pesantren, adakah pengaruh dalam proses pelaksanaan, apa model manajemen yang digunakan pada kapasitasnya dalam pendidikan pesantren, motivasi pemakaian digunakan dan bagaimana pula pihak pesantren merealisasikan manajemen yang telah ditetapkan, komponen-komponen apa saja yang diterapkan dalam manajemen pendidikan pesantren, serta faktor penghambat dan penunjang terhadap manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
Berdasar paparan di atas dan berpijak pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui dinamika manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
2.      Mengetahui model manajemen pondok pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
3.      Mengetahui komponen yang dikembangkan dalam manajemen pondok pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
4.      Mengetahui faktor penghambat dan penunjang manajemen pondok pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
E.     Kegunaan Penelitian
Dengan diketahuinya deskripsi yang jelas tentang Penelitian tesis ini, penulis harapkan memberikan nilai kegunaan akademis dan nilai kegunaan praktis, yaitu:
1.      Kegunaan Akademis
a.       Mengetahui dinamika pengelolaan yang digunakan dalam pendidikan pesantren.
b.      Membantu pemerhati dan praktisi pendidikan Islam dan pesantren dalam memanej pendidikan pesantren.
c.       Mengetahui pengelolaan apa saja yang digunakan dalam pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
d.      Mengetahui motivasi dan alasan tertentu dalam memanej pendidikan di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
e.       Mengetahui karakteristik manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
2.      Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara praktis bagi ilmuan, praktisi dan pemerhati bagi pihak-pihak berikut:
a.       Pengamat dan praktisi pesantren bisa memahami tentang dinamika dan model dari manajemen pendidikan pesantren
b.      Sipervisor pendidikan, sebagai bahan acuan dalam menggerakkan dan menyelaraskan pendidikan yang berbasis keagamaan.
c.       Pengurus pesantren, bisa dijadikan sebagai bahan dan wahana refresentatif dalam mengelola dan menerapkan tentang mekanisme manajemen pendidikan pesantren.
d.      Masyarakat, telaah dan dukungan moral demi terciptanya suasana yang harmonis dalam terciptanya lingkungan yang kondusif dalam dunia pendidikan yang berbasis keagamaan.

F.      Kerangka Teoritik
1.      Dinamika Manajemen Pendidikan Pesantren
Pondok pesantren[8] merupakan lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kiai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat lembaganya.[9] Lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous culture).[10] Maka, bukanlah kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai belahan dunia.
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi pendidikan yang mengajarkan agama dan penekanan moral dipertanyakan. Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren ada dua macam. Yaitu: (1) Mereka yang menyangsikan relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. (2) Mereka yang justru melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[11]
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondok pesantren dalam hal ini; (1) Merevisi kurikulum  dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; (2) membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum.[12]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman al-akhlak al-karîmah (moral) dan intelektual.
Neong Muhajir,[13] pendapat yang berkaitan dengan dinamika dalam arti instrumentasi, antara lain: pendapat Durkheim yang mengatakan perubahan evolusioner dari mekanik ke organik. Pembagian kerja dan tata sosial yang semula kaku mendetail menjadi luwes. Sedangkan Homans mengatakan teori tukar menukar (exchange theory), bahwa manusia bertindak atas prinsip meminimalkan biaya dengan menjangkau keuntungan maksimal. Kekuatan (power) dimiliki oleh orang yang mampu memberi hadiah (keuntungan) lebih besar dalam tukar menukar dengan kesediaan menerima imbalan yang lebih kecil.
Lewis Coser mengatakan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial, dan mempunyai fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial, dan fungsi negatif konflik menimbulkan keraguan dan keseimbangan nilai sosial yang ada.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan bisa terjadi dengan evolusioner, dan dalam perubahan tersebut ada suatu kekuatan (power) yang menjadikan sesuatu itu dapat berubah. Dalam fenomena yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ada di pesantren adalah sosok sentral, yaitu seorang kiai. Sedangkan pendorong yang dapat berperan mempercepat perubahan sosial menurut Neong Muhajir, setidak-tidaknya ada tiga macam:
a.       Penemuan teknologi baru
b.      Wawasan baru
c.       Perubahan struktur atau fungsi sesuatu satuan sosial.[14]

Suatu perubahan mungkin berpangkal pada yang pertama, mungkin pula bermula dari yang kedua atau yang ketiga. Tetapi ketiganya akhirnya menjadi saling mempengaruhi.
Bila hal tersebut dikaitkan dengan dinamika pondok pesantren, maka yang kedua banyak mewarnai perkembangan pondok pesantren yaitu pada wawasan seorang pemangku pondok, dalam hal ini adalah kiai. Karena setiap perubahan sosial pasti ada sosial aktornya, dan sosial aktor pada dinamika manajemen pendidikan di pondok pesantren adalah kiai. Kiai merupakan power (kekuatan) dalam hal kedalaman ilmu kiai dan wawasan barunya untuk menghadapi perubahan. Seorang kiai sebagai pemangku pondok pesantren memiliki karisma.[15] Dan pengaruhnya besar sekali dalam kehidupan masyarakat.
Di samping itu, kiai memiliki otoritas dan wewenang yang menentukan semua aspek kegiatan pendidikan dan kehidupan agama atas tanggung jawab sendiri.[16] Kiai berperan sebagai  alat penyaring arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Namun, menurut Geertz, peranan penyaring itu akan macet manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin disaring oleh sang kiai. Dalam keadaan demikian, kiai akan kehilangan peranannya. Dengan kurangnya informasi yang diperoleh, kiai menjadi tidak kreeatif, dan akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan masyarakat sekitarnya.[17]
Menurut Horikoshi, ada sebagian kiai berperanan kreatif dalam perubahan sosial. Hal ini bukan karena sang kiai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justeru  karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informsi, melainkan menawarkan agenda yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Ia bukan keraguan berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan informasi, melainkan ialah sepenuhnya berperan karena ia mengerti bahwa perubahan sosial adalah perkembangan yang tak terelakkan lagi.
Untuk lebih jelas menggambarkan miniatur atau corak kepemimpinan kiai, berikut ini dipaparkan tentang tipe-tipe pemimpin,[18] yaitu:
a.       Tipe Otokratik, Pemimpin yang bertipe ini akan bertindak sendiri dalam mengambil keputusan, dan memberitahukan kepada bawahannya bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahannya itu hanya berperan sebagai pelaksana karena mereka tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilannya. Gaya otokratik bukanlah gaya yang didambakan oleh bawahan dalam mengelola suatu organisasi kerena pentingnya unsur manusia sering diabaikan.
b.      Tipe Meliteristik, Tipe ini dalam menggerakkan bawahan sering menggunakan cara  mengambil keputusan sendiri dan berusaha “menjual” keputusan itu kepada bawahannya. Dengan harapan bahwa para bawahan akan mau menjalankannya meskipun tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
c.       Tipe Paternalistik, Orientasi kepemimpinan dengan gaya ini memang ditujukan pada dua hal sekaligus, yaitu penyelesaian tugas dan terpeliharanya hubungan yang baik dengan para bawahan sebagaimana seorang bapak akan selalu memelihara hubungan yang serasi dengan anak-anaknya.
d.      Tipe Karismatik, Seorang pemimpin yang bertipe karismatik mungkin saja bertindak otokratik dalam mengambil keputusan, dalam arti ia mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan para bawahannya dan menyampaikan keputusan itu kepada orang lain untuk dilaksanakan. Akan tetapi adakalanya ia menggunakan gaya yang demokratik, dalam arti mengikutsertakan para bawahan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang demikian memiliki daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supranatural power), mempunyai semacam kesaktian, dan mempunyai kemampuan yang luar biasa diluar kemampuan orang-orang biasa.
e.       Tipe Demokratik, Pemimpin yang bertipe demokratik akan memilih model dan teknik pengambilan keputusan tertentu yang memungkinkan para bawahannya berpartisipasi, dan gaya ini dipandang sebagai gaya yang paling didambakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi yang bersangkutan.

2.      Model Manajemen Pendidikan Pesantren
Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata yang memadukan antara kurikulum salaf dan modern dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu pendidikan pondok pesantren (ma’hadiyah) biasa disebut nonformal dan pendidikan formal (madrasah).
a.      Pelaksanaan Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal yang dimaksudkan antara lain pengajian al-qur’an dan pangajian kitab kuning. Di pesantren ini, pengkajian al-qur’an atau yang dikenal dengan istilah aso’an al-qur’an (santri menyetor hasil bacaan al-qur’an yang kemudian diteliti oleh pembimbing atau ustadz, Madura) merupakan kewajiban utama yang di ikuti oleh seluruh santri.
Penyelenggaraannya berbentuk halaqah (berkelompok), yaitu masing-masing pengasuh atau pembimbing mempunyai anggota dengan jumlah yang angat banyak, sehingga metode yang digunakan adalah metode ampakan (dua sampai enam santri secara bersamaan mengaji mengelilingi pembimbing dengan surat dan juz yang berbeda, Madura). Disini pembimbing menyimak bacaan santri dan member teguran apabila ada bacaan yang salah. Sedangkan sistem pengajian kitab klasik (kitab kuning) diselenggarakan dengan mengkaji kitab-kitab yang “condong” pada satu mazhab (Syafi’ie).
Kurikulum pengajian kitab kuning belum mempunyai standard dan ketetapan dari pondok pesantren. Kecuali bagi santri baru yang diwajibkan untuk mengikuti kajian kitab nahwu, sharraf dan bidâyah. Biasanya, kitab yang selesai dikaji diganti dengan kitab yang sejenis yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan inisiatif pengasuh. Kitab-kitab yang dikaji meliputi beberapa bidang keilmuan, antara lain fiqhih, tauhid (teologi), akhlak (tasawuf) dan bahasa (nahwu, sharraf dan balâghah).
Dalam hal ini, maka pondok pesantren harus membuka diri dengan berbagai refrensi, walaupun tidak dalam bentuk pengajian, minimal memfungsikan perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat dan tidak mungkin dapat dikuasai melalui transmisi dari satu sumber ilmu pengetahuan (guru), tatapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang hanya dapat diketahui melalui proses membaca.[19] Artinya, ketika kiai atau ustadz mengajarkan salah satu kitab tertentu senantiasa memberikan anjuran guna memperkaya dengan beberapa literatur sebagai perbandingan pemikiran.
b.      Pelaksanaan Pendidikan Formal
Mengingat perkembangan zaman yang semakin pesat, pengasuh pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata memiliki inisiatif menyiapkan sumber daya manusia yang mempuni dengan membuka jenjang pendidikan formal. Beberapa pendidikan formal di pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, antara lain; Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TPA), Madrasah Ibtida’íyah (MI), Madrasah Tsânawiyah (MTs) dan Madrasah ‘Aliyah (MA). Disamping itu, terdapat beberapa lembaga pelatihan yang berorientasi pada pembentukan life skill.
Sistem konvergensi yang dianut pesantren ini meniscayakan terhadap beberapa pilihan kurikulum dalam pendidikan formal. Antara lain; kurikulum Yayasan Al-Khairat dan kurikulum pemerintah (Depag dan Diknas).
Sementara ini, kurikulum yang dipahami pesantren hanya dalam makna sempit. Sebagaimana dipaparkan Suyanto dan Djihad Hisyam, bahwa memang ada dua pemahaman terhadap kurikulum, yakni yang memahami kurikulum secara sempit dan luas. Kurikulum dalam arti sempit yaitu kurikulum yang dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Sedangkan dalam arti yang luas, kurikulum menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan guna mencapai tujuan pendidikan.[20]
Kaitan dengan pemahaman sempit terhadap kurikulum, tergambar dalam proses belajar mengajar berlangsung hanya terpaku pada jadwal pelajaran semata. Menurut Beauchamp dalam uraian Nana Syaodih Sukamadinata, kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu; (a) kurikulum merupakan dokumen tertulis, (b) berisi garis-garis besar rumusan tujuan, (c) isi atau materi ajar.[21] Pada level ini, tampaknya Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata hanya menekankan pada satu karakteristik, yaitu isi atau materi ajar yang dipahami sebagai kumpulan daftar pelajaran dan jadwal.

3.      Komponen yang Dikembangkan dalam Manajemen Pendidikan Pesantren
Usaha-usaha untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan peranan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga pencetak ulama dan pemimpin masyarakat ini sering di adakan. Usaha ini tercermin dalam berbagai musyawarah, diskusi dan seminar, baik yang diadakan oleh Pondok Pesantren sendiri, lembaga swasta maupun yang di adakan Pemerintah kesemuanya berkesimpulan akan pentingnya peningkatan dan pembinaan Pondok Pesantren agar tetap bahkan lebih mampu berfungsi secara efektif dalam masa pembangunan dewasa ini.
Dalam rangka dinamisasi, modernisasi dan reformasi Pondok Pesantren, Pemerintah telah mengintrodusir beberapa komponen kegiatan pada tiap pesantren, sebagai berikut:[22]
a.      Pengajian (Pendidikan dan Pengajaran agama)
Pengajian adalah kegiatan pendidikan keagamaan yang penyelenggaranya sepenuhnya di serahkan pada kebijakan Bapak Kiai. Sistem penyampaian yang di pergunakan biasanya dalam bentuk sorogan, bandongan, wetonan atau jenis-jenis lainnya. Kegiatan ini di maksudkan guna mendalami ajaran agama, sehingga terpeliharanya kelestarian pendidikan keagamaan untuk memelihara calon ŭlama.
b.      Pendidikan Formal
Pendidikan formal diselenggarakan terutama dalam bentuk madrasah. Dengan membina dan mengembangkan pendidikan formal di Pondok Pesantren, diharapkan sebagian lulusan Pondok Pesantren akan memilki pengetahuan akademis dan dapat melanjutkan pendidikannya kejenjang sekolah atau lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
c.       Pendidikan Kesenian
Pendidikan kesenian dimaksudkan untuk lebih meningkatkan apresiasi para santri terhadap macam-macam bentuk kesenian. Selama ini di kalangan Pondok Pesantren sudah berkencang seni barzanji, shālawatan, pencak silat dan lain lainnya. Dengan pendidikan kesenian ini di harapkan para santri mempunyai orientasi yang lebih luas dalam kegiatan kesenian, yakni tidak saja pada jenis kesenian yang bersifat nasional dan universal, namun tetap dalam batas-batas ajaran agama Islam.
d.      Pendidikan Keterampilan Kejuruan
Pendidikan ketrampilan kejuruan di kembangkan di Pesantren, untuk keperluan santri sebagai modal untuk menjadi manusia yang bersemangat wiraswasta dan sekaligus untuk menunjang pembangunan lingkungan. Disamping itu, pendidikan ketrampilan ini diperlukan dalam rangka menyeimbangkan antara perkembangan otak, hati dan ketrampilan.

4.      Faktor Penghambat & Penunjang Manajemen Pendidikan Pesantren
Abudin Nata (2003) menyebutkan; dewasa ini pendidikan Islam terus dihadapkan pada berbagai problema yang kian kompleks. karena itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM, peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan dan semua itu mustahil tanpa manajemen yang profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini dilakukan tanpa perencanaan dan konsep yang matang seringkali berjalan apa adanya. alami dan tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yang kurang membanggakan.
Problematika yang dihadapi pondok pesantren dikarenakan adanya  kendala pada perencanaan pondok pesantren yang kurang optimal. sehingga dalam pelaksanaan fungsi tugasnya tdak berjalan sebagaimana yang diharapkan. juga  disebabkan  minimnya personil yang kompeten  pada  bidangnya,  dan  sumber  dana  kurang memadai.
Dalam penyusunan perencanaan program kerja hendaknya  diperhitungkan secara terperinci tentang kondisi obyektif pondok pesantren, pemasalahan, alternatif pemecahan, faktor pendukung dan penghambat program, prioritas pengembangan program, indikator keberhasilan dan langkah-langkah mencapai keberhasilan program, pengalokasian dan waktu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika perencanaan disusun dengan jelas dan bersifat terbuka serta rasional maka tujuan dapat mudah dicapai.

G.    Penelitian Terdahulu
Pemikiran mengenai manajemen pendidikan pesantren telah berkembang jauh dan seringkali muncul perbincangan tentang persoalan pendidikan dewasa ini. Namun dalam konteks dunia pesantren, yakni di Pondok Pesantren belum dibahas secara khusus dalam buku-buku yang berbicara dalam hal ini secara tuntas. Kalaupun ada pembahasannya hanya menyinggung sedikit dan tidak menyeluruh (holistic).
Tulisan-tulisan yang telah mencoba mengangkat persolan penerapan manajemen pendidikan pesantren antara lain: Zainuddin Syarif,[23] Dinamisasi Manajemen Pesantren. Tulisan atau buku ini hanya membahas format manajemen pesantren, model manajemen pesantren, dan model pondok pesantren masa depan. Penulis juga mengutip dari Mahpuddin Noor,[24] buku ini sekedar membahas pesantren dari aspek lintas sejarah, perubahan dan perkembangan pondok pesantren saja. Sehingga penulis ingin menkolaborasikan implementasi dari manajemen pendidikan pesantren.
Penelitian tentang manajemen pendidikan pesantren belum pernah peneliti temukan dalam literatur-literatur yang ada. Akan tetapi ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan manajemen pendidikan pesantren dari sudut-sudut yang lain pernah dilakukan beberapa peneliti, di antaranya adalah:
M. Ridlwan Nasir, “Dinamika Sistem Pendidikan: Studi di Pondok-Pondok Pesantren Kabupaten Jombang Jawa Timur”, (Disertasi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996. Dalam disertasinya tersebut Ridlwan Nasir mengulas tentang sistem pendidikan di lingkungan pesantren. Sedangkan penulis lebih menekankan pada sisi manajemen di lingkungan pesantren.
Zainuddin Syarif, “Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern”, (Tesis), Yogyakarta; UII, 2001. Dalam tesisnya tersebut, Zainuddin Syarif mengupas tuntas tentang manajemen pesantren dari masa tradisional sampai modern. Penulis lebih menekankan pada aspek manajemen pendidikan yang notabene lebih spesifikasi pada tataran pendidikan di pesantren itu sendiri. Sedangkan penulis lebih menitik beratkan pada tatanan manajemen pendidikan.
Dengan minimnya pembahasan mengenai manajemen pendidikan pesantren, maka dirasa perlu mengembangkan pembahasan ini sehingga lebih jelas dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan khususnya di lingkungan pesantren itu sendiri. Dari itu penelitian yang sedang diteliti ini adalah suatu hal yang baru, menarik dan urgen untuk dilakukan karena realitanya selama ini ada, akan tetapi penelitian secara khusus tentang manajemen pendidikan pesantren belum ada.

H.    Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau prilaku yang dapat diamati. Bodgan dan Tylor,[25] menyatakan bahwa “metode kualitatif adalah prosedur-prosedur riset yang menghasilkan data kualitatif yang berisi ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka yang observasi”.
Dalam melaksanakan studi ini, penulis ingin menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah metode penelitian yang dipakai. Masalah penelitian tersebut di antaranya meliputi: Jenis Penelitian, Pendekatan Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Metode Analisis Data, Metode Penyajian Data yang akan di uraikan berikut ini:
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian naturalistik. Penelitian naturalistik menghendaki untuk mengetahui kondisi sesungguhnya (natural/alamiah) yang ada pada suatu objek penelitian di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci.[26] Penelitian naturalistik tidak melakukan percobaan-percobaan seperti dalam Penelitian Tindakan Kelas atau penelitian rekayasa sosial yang lain.
Dipilihnya pendekatan kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini dilakukan pada latar alamiah, penelitian ini menggunakan manusia, dalam hal ini peneliti sebagai instrumen utama, data yang dikumpulkan berupa ucapan atau tindakan, dan analisis data yang dilakukan bersifat induktif.

2.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam peneltian ini adalah penelitian kualitatif deskiptif dan induktif dengan pendekatan fenomenologi sosial. Sejalan dengan jenis penelitian kualitatif yang digunakan sebagai dasar berfikir dalam penelitian ini, maka di antara derivasi pendekatan yang memiliki keterkaitan terhadap penelitian kualitatif adalah fenomenologi. Secara konseptual, Edmund Husserl,[27] mengatakan;
 phenomenologi will be established not as a science of fact but as a science of essential being, as eidetic science, its aim at establishing knowledge of essences an absolutely not fact.” (fenomenologi ingin dibuktikan bukan sebagai sains tentang fakta, tetapi sebagai sains tentang essential being (keberadaan esensi), dan eidetic science,[28] tujuannya adalah memantapkan pengetahuan tentang esensi dan benar-benar bukan fakta.[29]

Gagasan Husserl ini menegaskan bahwa, pengetahuan (science) tidak berkepentingan terhadap fakta atau realitas maupun hal-hal yang empirik. Melainkan menempatkan sebuah fakta atau realitas empiris sebagai refleksi menuju pengetahuan yang esensi. Dengan konsentrasi pada yang nampak (baca: realitas empiris) dalam pengalaman, maka esensi dapat dirumuskan.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Metode kualitatif dipilih agar dapat diketahui data secara holistik dengan cara peneliti membaur dengan objek secara langsung. Dengan hal tersebut diharapkan peneliti dapat mengetahui seluk beluk yang ada di lapangan dan menuliskannya dalam data hasil penelitian sekaligus menganalisisnya. Dengan metode kualitatif, peneliti tidak akan disibukkan untuk menghitung angka-angka dan menginstrumenkannya seperti dalam penelitian kuantitatif[30] dan lebih pada kedalaman hasil dan kualitas penelitian. Deskriptif, berarti peneltian ini tujuan utamanya adalah menerangkan apa adanya atau apa yang ada pada saat diteliti. Induktif, berarti dari fenomena satu tempat dan tempat yang lain lalu digeneralisirkan menjadi fenomena umum.
Dengan pendekatan penelitian di atas berarti gambaran-gambaran manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata akan menjadi fenomena empiris di lapangan sebagaimana dapat dipahami dari permasalahan yang telah dirumuskan.

3.      Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber, yaitu:
a.       Sumber non-manusia, termasuk buku-buku primer atau sekunder, majalah, diktat (yang berkaitan dengan manajemen pendidikan pesantren), dan sumber data lain yang dikategorikan non-manusia.
b.      Sumber data yang berasal dari sumber manusia yaitu: kiai, pengurus, dan santri di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Desa Panaan Kecamatan Palengaan kabupaten Pamekasan.

4.      Sampel Penelitian
Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka purposive sampling menurut peneliti lebih cocok untuk digunakan dalam penelitian ini. Purposive sampling sendiri dikenal juga dengan “sampling pertimbangan” yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu.[31]

5.      Teknik Pengumpulan Data
Metode kualititatif lebih diutamakan dalam paradigma naturalistik, metode ini dianggap lebih manusiawi, karena manusia sebagai instrumen penelitian. Metode interview dan observasi serta teknik-teknik analisanya lebih merupakan eksistensi dari prilaku manusia seperti mendengarkan, berbicara, melihat, berinteraksi, bertanya, meminta penjelasan, dan mengekspresikan kesungguhan serta mencatat hal-hal yang tersirat.[32]
Dalam penelitian ini pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan dengan teknik pengumpulan data yang menggunakan teknik Participant Observation, intreview dan dokumentasi. Sedangkan angket dalam penelitian ini tidak digunakan karena tidak bersifat massal dan narasumber peneliti adalah para pengambil kebijakan dan pelaku kebijakan di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari teknik pengumpulan data tersebut, penjelasannya dideskripsikan sebagai berikut:
a.      Observasi (Participant Observation)
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistemik atas fenomena-fenomena yang diselidiki.[33] Definisi observasi yang lain adalah pengamatan yang dilakukan dengan pengamatan langsung dan tak langsung agar data yang didapatkan itu valid.[34] Sedangkan Arikunto mendefinisikan sebagai kegiatan penguatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.[35] Pengamatan ini dilakukan atas objek penelitian yang dipilih berdasarkan atas purposif sampling.
Berdasar pengertian observasi diatas, maka setelah instrument observasi dibuat, peneliti mulai dating ke lokasi penelitian, yakni Pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan, untuk melihat manajemen pendidikan yang sedang berlangsung. Data yang ingin penulis kumpulkan adalah tentang dinamika manajemen pendidikan pesantren, model manajemen pendidikan pesantren, komponen-komponen, dan faktor penghambat dan penunjang manajemen pendidikan pesantren.

b.      Wawancara (Interview)
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan dengan sistemik dan berlandaskan pada tujuan penelitian yang ada.[36] Hadi, menjelaskan bahwa wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewee).[37]
Interview dilakukan kepada pengasuh pesantren sebagai penentu kebijakan tingkat umum atas lembaga-lembaga yang ada dibawahnya, ketua pengurus dan badan-badan dalam kepengurusan. Narasumber dalam peneltian ini diberi kebebasan untuk mengeluarkan buah pikiran, pandangan dan perasaan pada peneliti. Interview gaya ini disebut pula interview tidak terstruktur.

c.       Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, leger, agenda dan sebagainya.[38] Dalam pelaksanaannya, peneliti menggunakan buku dan arsip yang berkenaan dengan judul baik yang dimiliki oleh pihak lembaga maupun pihak lain jika ada.
Setelah instrumen dokumentasi dibuat, maka peneliti dating ke lokasi penelitian, yakni Pondok Pesantren Mambaul ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan, untuk melakukan pencatatan data dokumentasi yang diperlukan sebagai penunjang validitas informasi atau data yang diperoleh peneliti. Data yang ingin dikumpulkan diantaranya adalah profil Pondok Pesantren Mambaul ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan, meliputi asas dan tujuan, sistem pendidikan dan pengajaran, peran dan fungsi, serta dinamika manajemen pendidikan pesantren.

6.      Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengaturan urutan data, mengorganisasikannya ke dalam satu pola kategori, dan satuan urutan data. Menurut Bogdan dan Biklen dalam kutipan Imron Arifin,[39] mengatakan “analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan secara keseluruhan kepada orang lain”. Selanjutnya teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu analisis yang menghasilkan atau menggambarkan keadaan yang ada dalam objek penelitian.[40]
Secara rinci langkah-langkah analisis data dapat dilakukan dengan mengikuti cara yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman, yaitu; reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi.[41]
a.      Reduksi Data
Reduksi dataialah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal  yang pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Dengan cara ini data penelitian yang sangat banyak dipilih sesuai keterkaitan judul proposal, yaitu Manajemen Pendidikan Pesantren, sehingga keberadaannya dapat dianalisis dengan mudah.
Kegiatan reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data, akan tetapi merupakan bagian dari proses itu sendiri.

b.      Display Data
Display data merupakan suatu proses pengorganisasian (pengelompokan) data, sehingga mudah untuk dianalisis dan disimpulkan.[42] Proses ini dilakukan dengan cara membuatmatrik, diagram atau grafik. Dengan ha tersebut diharapkan peneliti dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak.

c.       Kesimpulan dan Verivikasi
Mengambil kesimpulan dan verivikasi merupakan langkah ketiga dalam proses analisis, langkah ini dimulai dengan memaparkan pola, judul, hubungan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang mengarah pada manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan lapangan.

I.       Sistematika Bahasan
Agar tesis ini menjadi satu kesatuan yang kronologis dan sistematis maka pembahasan disusun sebagai berikut:
BAB I, membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, Studi teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika bahasan.
BAB II, membahas landasan teori tentang manajemen pendidikan pesantren, yang meliputi: pembahasan mengenai dinamika manajemen pendidikan di pesantren, model manajemen pendidikan pesantren, komponen-komponen yang dikembangkan, dan faktor-faktor yang menghambat dan menunjang dalam manajemen pendidikan pesantren.
BAB III, membahas laporan hasil penelitian yang meliputi pembahasan, pertama, sejarah pertumbuhan dan perkembangan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan. Kedua, visi dan misi Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan. Ketiga, tujuan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan. Keempat, keadaan santri, pengurus dan civitas Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan. Dan kelima, manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
BAB IV, penyajian dan analisis data yang membahas tentang Manajemen pendidikan pesantren Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan, dunamika manajemen pendidikan pesantren, model manajemen, faktor penghambat dan penunjang serta solusi manajemen pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Panaan Palengaan Pamekasan.
BAB V, penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.


[1] Ada yang berpendapat pada abad 15. lihat Khamami Zada dkk, ”Intelektualisme Pesantren”, (Jakarta: Diva Pustaka. 2003), 14. Kemudian ada yang mengatakan pada abad ke 13, Masyhud, Sulthon dan Khusnurdilo, ”Manajemen Pondok Pesantren”, (Jakarta: Diva Pustaka. 2003). 1.
[2] Kalau mencermati “Tri Dharma Pesantren”: (1) Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT., (2) Pengembangan keilmuan yang bermanfat, dan (3) Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Maka kita dapat melihat bahwa pesantren sesungguhnya bukanlah institusi yang fokus pada pendidikan agama saja. Pendidikan sains-teknologi seperti terlihat pada poin kedua di atas sangat mungkin untuk dikembangkan di pesantren, sehingga alumni pesantren bisa berkompetisi dalam dunia global yang sangat ketat. lihat di Syaifullah Yusuf, “Melahirkan Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era Kesejagatan”, pengantar dalam Babun Suharto, “Dari Pesantren untuk Umat”, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011), xi.
[3] Karel A. Steenbring, ”Pesantren Madrasah Sekolah”, (Jakarta: LP3ES, 2002), 8.
[4] Zamakhsyari Dhofier, ”Tradisi Pesantren”, (Jakarta: LP3ES, 1994), 2.
[5] Sa’id Aqiel Siraj, “Pesantren Masa Depan”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 181.
[6] Mahpuddin, Noor, “Potret Dunia Pesantren”, (Bandung: Humaniora, 2006), 112.
[7] Pengertian tradisional dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam bagi sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat, bukan tradisional dalam arti tanpa mengalami penyesuaian. Zamachsyari Dhofier., Op.Cit, 3
[8] Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut “pondok pesantren”. Lihat Mamfret Ziemek, “Pesantren dalam Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, tt), 116. Istilah “pondok” sendiri diambil dari bahasa Arab “funduk” yang berarti asrama atau hotel, sebab santri dalam belajar dengan cara mukim yang membutuhkan tempat tinggal sekaligus tempat belajar dalam jangka waktu yang lama. Lihat Zamahsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan HidupKiai”, cet.VI, (Jakarta: LP3ES, 1994), 18.
[9] Dawam Raharjo, “Pesantren dan Pembaharuan”, cet.V, (Jakarta: LP3ES, 1995), 87.
[10] Amal Fathullah Zarkasyi, “Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah”, dalam Adi Sasono, Didin Hafiduddin, AM. Saefuddin, dkk, “Solusi Islam atas Problematika Umat”, cet.I, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1998). 101-171.
[11] Muhammad Busyro, “Problem Pengembangan Tradisi Pesantren”, dalam Abdul Munir Mulkham, “Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek)”, (Yogyakarta: Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998), 186-199.
[12] Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru”, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 102.
[13] Neong Muhajir, “Teori Perubahan Sosial”, dalam Ridlwan Nasir, “Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), 12.
[14] Neong Muhajir,. Op.Cit., 11-12
[15] Maksudnya, bahwa nama dan pengaruh sebuah pesantren berkaitan erat dengan masing-masing kiai, telah menunjukkan, betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadian seorang pemimpin pesantren menentukan kedudukan dan tingkat suatu pesantren. Bila saat pendirian pesantren kepemimpinan dan kecakapan seorangg kiai menggerakkan massa merupakan faktor yang menentukan untuk mengajak penduduk sekitarnya bekerja dan turut serta dalam pembiayaan. Selanjutnya, seorang kiai sering dapat mmembangun peran strategisnya sebagai pimpinan masyarakat yang nonformal melalui suatu komunikasi yang intensif dengan penduduk. Kedudukannya yang penting di lingkungan pedesaan sama sekali bukan hal baru, malahan dalam zaman kolonial tampaknya lebih  menonjol ketimbang sekarang. Ibarat sebuah kerajaan, kiai merupakan pusat otoritas dan kekuasaan (authority and power) yang mempunyai kewenangan mutlak dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tak seorangpun mampu melawan kekuasaan kiai di dalam lingkungan pesantrennya, kecuali kiai yang lebih besar. Diri santri sendiri selalu berpikir bahwa kiai yang diikutinya merupakan kiai yang ampuh, mempunyai konfidensi baik dalam soal ilmu pengetahuan, kekuasaan dan pengelolaan terhadap soal pesantren dan santrinya, banyak ditentukan oleh banyak aspirasi dan kemampuan yang ada pada diri kiai. Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai”, (Jakarta: LPES, 1982), 56, dan Bakhtiar Efendi, “Nilai Kaum Santri” dalam M. Dawan Raharjo, “Pergulatan Dunia Pesantren”, (Jakarta: P3M, 1985), 50-51.
[16] Manfred Ziemek, “Pesantren dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1986), 138.
[17] Hiroko Horikoshi, “Kiai dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1987), xvi-xvii.
[18] Sondang P. Siagian, “Filsafat Administrasi”, (Jakarta: Mas Agung, 1994), 41. dan lihat juga Sondang P. Siagian, “Fungsi-Fungsi Manajerial”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 17. mengemukakan ada 5 tipe, hanya saja tipe meliteristik diganti dengan laissez faire. Bandingkan juga YW. Sunindhia dan Ninik Widayanti, “Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern”, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1993), 29., dan M. Karyadi, “Kepemimpinan (Leadership)”, (Bandung: Karya Nusantara, 1989), 7-8.
[19] Tilaar, HAR, “Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21”, (Magelang: Tera Indonesia, 2008), 390.
[20] Suyanto dan Djihad Hisyam, “Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III”, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), 59.
[21] Nana Syaodih Sukamadinata, “Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 34.
[22] Amin Abdullah, “Langkah Pengembangan Pesantren”, dalam http://www.raudlotuttolabah.com /2010/10/langkah-pengembangan-pesantren.html. (20 Januari 2011)
[23] Zainuddin Syarif, “Dinamisasi Manajemen Pesantren; dari Tradisional hingga Modern”, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007).
[24] Mahpuddin Noor, “Potret Dunia Pesantren”, (Bandung: Humaniora, 2006).
[25] Bodgan, Robert dan Tylor, Steven J, “Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian”, Ed. Afandi, A. Khozin, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 30.
[26] Riduwan, “Metode dan Teknik Menyusun Tesis”, Cet.5 (Bandung: Alfabeta, 2007), 51.
[27] Pendiri filsafat Femomenologi, ia lahir dua tahun setelah kematian pendiri filsafat Positivisme, August Comte (1798-1857). Lih. Khozin Afandi, “Hermeneutika dan Fenomenologi Dari Teori ke Praktek”, (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007), 2.
[28] Apa yang tampak. Eidetic: of visual imagery of almost
[29] Edmund Husserl, “Ideas: General Introduction to Pure Phenomenologi”, (New York: Collier Books, 1962), 39.
[30] Robert L. Bogdan & Sari Knoop Biklen, “Qualitative Reseach For Education an Introduction to Theory And Methods”,  (Boston: Allyn & Bacon, 1982), 02.
[31] Riduwan, “Metode dan Teknik Menyusun Tesis”, 63.
[32] Noeng Muhajir, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Yogyakarta: Rake Sarusin, 1990), 40.
[33] Sutrisno Hadi, “Metodologi Reseach”, Jilid II (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), 136.
[34] S. Nasution, “Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif”, (Bandung: Tarsito, 1996), 62.
[35] Arikunto, Op.Cit, 133
[36] Marzuki, “Metodologi Riset” (Yogyakarta: BPFE-UII, 1995), 62.
[37] Hadi, Sutrisno, “Metodologi Research”. Vol. 2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1999), 133.
[38] Suharsimi Arikunto,Prosedur Penelitian”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 234.
[39] Arifin Imron, “Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan”, (Malang: Kalimasahada, 1999), 84.
[40] Arikunto, Suharsimi, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 353.
[41] Mathew B. Miles & A. Michael Huberman, “Qualitative Data Analysis”, (London: Sage Publications, 1984), 21.
[42] Lexy J. Meleong, “Metode Penelian Kualitatif”, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 190.

1 komentar: