Minggu, 11 Juli 2010

Reformasi Pendidikan ; Abad 20-21


Reformasi pendidikan pada awal abad ke-20
Usaha reformasi pendidikan Islam di Indonesia merupakan telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak awal abad ke-20. usaha ini bukan saja merumuskan cita-cita pendidikan, yang pada akhirnya juga menuntut pembaharuan kurikulum, tapi juga pembenahan kelembagaan untuk disesuaikan dengan tuntutan perkembangan baru. Dalam keberadaan ini sesungguhnya tidak lepas dari pesantren dan madrasah yang berkembang dalam sejarah Islam di Indonesia.[1]
Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program pendidikan yang diselenggaraknnya. Professor Mastuhu menjelaskan, bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dan peran-peran dan tanggung jawab sosial.[2] Setiap santri diharapkan menjadi orang yang wise (bijaksana) dalam menyikapi kehidupan ini. Dalam bahasa pesantren, wise bisa dicapai ketika santri menjadi seorang yang ‘alim, shalih, dan nasyir al-‘ilm.[3]
Hal ini dapat dipahami dari rumusan tujuan pendidikan pada masing-masing pesantren. Secara spesifik, beberapa pesantren yang tergabung dalam forum pesantren merumuskan beragam tujuan pendidikannya, yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok; yaitu pembentukan akhlak/kepribadian, penguatan kompetensi santri, dan penyebaran ilmu.

Reformasi pendidikan pada awal abad ke-21
Mengikut Laporan UNESCO (Report Of The International Commission On Education For The Twenty First Century), pendidikan yang berterusan sepanjang hidup harus berasaskan empat tonggak, iaitu: ‘Learning to know’ (belajar untuk tahu); ‘Learning to do’ (belajar untuk buat); ‘Learning to live together’ (belajar untuk hidup bersama) dan ‘Learning to be’ (belajar untuk menjadi). Pada peringkat asas, pendidikan seharusnya dapat memberi seseorang kanak-kanak pendedahan kepada pengetahuan yang luas dan pelbagai sebelum dispesifikkan secara mendalam dalam bidang-bidang tertentu. ‘Belajar untuk tahu’ membantu seseorang membina satu spektrum ilmu yang membolehkan dia memilih bidang yang sesuai dengan lebih jitu. Ilmu di sini juga merangkumi cara belajar, sesuatu kemahiran yang begitu diperlukan untuk memudahkan seseorang menikmati peluang-peluang belajar yang begitu banyak dari pelbagai sumber. Ilmu yang diperoleh harus seiring dengan kemahiran untuk melakukan tugasan berasaskan ilmu itu. “Belajar untuk buat” bukan dihadkan kepada kemahiran operasi atau mekanikal sahaja tetapi merangkumi kompetensi-kompetensi seperti kebolehan untuk menangani situasi-situasi yang tidak dijangka, kerja berpasukan, menyesuaikan diri dalam pelbagai konteks sosial dan kerja.[4]
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.[5]
Menurut Jery Mintz (1994:xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:
1.      Sekolah Public Pilihan (public choice);
2.      sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
3.      sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
4.      pendidikan di rumah (home-based schooling).
Bentuk pendidikan alternative tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah Pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang. Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa, Mohammad Syafe’i membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan, “Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.

Periode reformasi dilihat dari aspek kelembagaan
Sekolah Unggulan dapat diartikan sebagai sekolah bermutu, namun dalam kategori unggulan tersirat harapan-harapan terhadap apa yang dapat diharapkan dimiliki oleh siswa setelah keluar dari sekolah unggulan. Harapan itu tak lain adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan oleh siswa itu sendiri yaitu sejauh mana lulusan (output) sekolah itu memiliki kemampuan intelektual, moral dan keterampilan yang dapat berguna bagi masyarakat.
Untuk menyikapi semua itu, kita harus mengubah system pembelajaran yang selama ini berlaku disemua tingkat pendidikan yaitu adanya keterkungkungan siswa dana guru dalam melaksanakan PBM, Sistem yang dimaksud adalah system dimana Siswa dan Guru dikejar dengan pencapaian target kurikulum dalam artian guru dituntut menyelesaikan semua materi yang ada dalam kurikulum tanpa memperhatikan ketuntasan belajar siswa, disamping itu adanya anggapan bahwa belajar adalah berupa transformasi pengetahuan (Transfer of knowlwdge).
Pada sisi unggulan semua system itu seharusnya tidak diterapkan agar apa yang menjadi harapan siswa, orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan guru selaku pengajar dan pendidik dapat tercapai. Mengembangkan Learning How to Learn (Murphi,1992) atau belajar bagaimana belajar, artinya belajar itu tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tetapi jauh lebih penting adalah mempersiapkan siswa belajar lebih jauh dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun dari lingkungan dimana dia tumbuh guna mengembangkan potensi dan perkembangan diri atau dengan kata lain belajar pada hakekat bagaimana mengartikulasikan pengetahuan-pengetahuan siswa kedalam kenyataan hidup yang sedang dan yang akan dihadapinya.
Secara pribadi dalam hal mengembangkan sekolah kearah sekolah unggulan (sekolah bermutu) disamping perubahan-perubahan tersebut masih banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya : Sarana dan prasarana, Menejemen persekolahan,Visi dan Misi sekolah, Profesionalisme Guru dan lain-lain. Untuk Profesionalisme bukan berarti menguasai sebagian besar pengetahuan tatapi lebih penting adalah bagaimana membuat siswa dapat belajar, guru dan siswa disederhanakan agat tidat tercipta gep, adanya perilaku guru yang membuat siswa tersisih atau terpisah dari gurunya, guru dan siswa harus terjalin komunikasi agar dalam proses pembelajaran ada keterbukaan siswa mengeritik dan mengeluarkan pendapat. Sebab bukan tidak mungkin dengan pengaruh perkembangan teknologi siswa lebih pintar dari gurunya.


[1] M. Dawam Rahardjo. Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta; LP3ES. 1985). 37
[2] Mastuhu. Principles of Education in Pesantren. dalam Manfred Oepen, et al. (eds). The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia. (Jakarta; FNS, P3M, dan Technical Univercity Berlin. 1988). 206
[3] M. Dian Nafi’, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta; PT.LKiS Pelangi Aksara. 2007). 49
[4] Dikutip dari; http://thinkingallowed1.blogspot.com/ (19-13-2009)
[5] Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Artikel Kuliah; Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, (Jakarta; Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. 1999)

1 komentar: