Selasa, 10 November 2009

Refleksi Hari Pahlawan ; Ironi Kepahlawanan dalam Aktualisasi Mahasiswa



By ; Ipins 19

Refleksi Hari Pahlawan juga dapat dikaitkan dengan eksistensi mahasiswa. Sebab, mahasiswa dan patriotisme menjadi satu-kesatuan.
Patriotisme adalah perasaan cinta yang kuat terhadap tanah air. Setiap orang sudah dianugerahi rasa patriot. Rasa patriot itu dijadikan oleh setiap orang untuk menjalankan amanat. Cinta tanah air ini sudah pasti wujud di hati setiap individu masyarakat Indonesia yang berdaulat dan merdeka dalam usaha mencapai matlamat dan aspirasi negara.


Medan Perjuangan Sebelum Jadi Mahasiswa

Tidak dapat diingkari bahwa pada zaman penjajahan, para pemuda berjuang sangat keras dan gigih bersemangat tidak takut mengorbankan harta bahkan nyawa demi Negara dan bangsanya. Tatkala mereka berhasil memerdekakan bangsa, maka sangat wajar kalau diberi gelar pahlawan. Baik yang gugur maupun yang sempat menikmati zaman kemerdekaan. Atas jasa mereka menghancurkan dan mengusir penjajah, bisa hidup dalam negara yang diimpikan. Bebas dari belenggu penjajahan baik fisik maupun mental.

Tiap zaman menciptakan pahlawan. Mungkin hanya musuh dan medan perangnya yang berbeda. Namun nilai perjuangannya tetap sama. Anak-anak sekarang juga berjuang sangat keras menghadapi musuh yang bentuk serta wilayah yang sangat luas. Pertarungan satu lawan satu atau tawuran pada setiap waktu dan kesempatan. Tidak ada detik dan menit yang terlewat. Sehingga wajar bila seseorang yang berhasil tamat SMU dan masih tetap jadi anak baik sesuai dengan harapan orang tuanya, juga diberi gelar pahlawan.

Anak sekarang mulai dari bayi sudah menghadapi perjuangan keras. Musuhnya sangat banyak dan bisa berada di mana dan bentuk apa saja. Sebahagian besar bahkan berbahaya dan mematikan. Sang bayi harus berhadapan dengan keinginan ibunya untuk menambah pendapatan keluarga atau ingin tetap cantik dalam memperebutkan ASI. Makanan susu kaleng dihidangkan tanpa anak mampu membantah, padahal memiliki kandungan racun yang mematikan.

Kala sang anak mula bermain. Berlapis musuh sudah menghadang. Permainan elektronik yang mempengaruhi syaraf dan pikiran datang bertubi menyerang, baik dari internal (orang tua) maupun eksternal (lingkungan). Sebagian orang tua bahkan berada pada posisi sang musuh. Makin besar sang anak, musuhpun semakin banyak. Posisi orang tua dan guru sebagai pendidik dan pengajar sebagian direbut oleh media tontonan yang tak pantas menjadi tontonan dan tuntunan.

Bertambah dewasa, remaja menghadapi musuh hampir di seantero sudut hidupnya. Interaksi dengan dunia luar yang melibatkan fisik maupun visual bukan serangan yang enteng. Terjajah atau merdeka. Bagi yang dilengkapi fasilitas cukup, tetap di rumah atau menyendiri dalam ruangan juga sama bahayanya dengan bergaul tak jelas di luar rumah. Kekerasan di dunia nyata tidak lebih berat dari kekerasan dunia maya.

Unjuk rasa itu merupakan ciri negatif yang melekat pada mahasiswa. Sukarno menyatakan dapat mengubah dunia bila diberikan sepuluh pemuda. Peran untuk mahasiswa untuk mengubah suatu keadaan di negara manapun memang sangat signifikan. Unjuk rasa merupakan protes yang dilakukan secara massal yang istilah sekarang disebut demonstrasi. Unjuk rasa sebenarnya merupakan salah satu cara untuk menyampaikan pendapat, dan jelas bukan merupakan cara untuk melepaskan kemarahan, kegeraman, kegusaran, atau unjuk kekuatan fisik. Hal ini dilakukan bila jalur komunikasi sudah tidak lagi terjalin dengan baik. Demonstrasi juga bisa hanya sekadar mencari perhatian, meningkatkan nilai tawar atau memang untuk menekan pihak yang didemonstrasikan.

Demonstrasi yang baik biasanya memiliki isu yang akan dikomunikasikan sebagai tema perjuangan. Tujuannya dipahami para demonstran dan perilaku peserta mampu dikordinir dengan baik. Setiap demonstran harus bisa menjawab tujuan melakukan demonstrasi, pesan apa yang akan disampaikan, siapa yang jadi target penerima pesan, apa yang ingin dicapai, mengapa ikut sebagai demonstran dan apa dukungan atau simpati yang akan digalang dari masyarakat.

Fakta juga menunjukkan bahwa kreadibilitas dan nilai perjuangan yang disampaikan pada suatu demonstrasi dapat melorot bila para demonstran tidak tahu tujuan demonstrasi secara jelas. Istilah demonstran bayaran, demonstran pesanan, demonstran zomnie mulai meluncurkan citra suatu "episode" demonstrasi pada sebagian besar bangsa kita saat ini.

Kekerasan dalam Demonstrasi & Unjuk Rasa

Karena ada dua pihak yang berseberangan, maka  hampir di setiap unjuk rasa akan ada perbenturan. Perbenturan sebenarnya bisa dihindari kalau kedua belah pihak tetap mengemukakan akal sehat. Bila tidak, perbuatan anarkis dan premanisme akan terjadi. Tidak ada lagi beda rasional dan emosional, konstruktif dan destruktif, orang tua dan anak-anak, budi pekerti dan kezaliman.

Ada pernyataan yang menanggapi negatif masalah demonstrasi akhir-akhir ini. Zaman dulu juga ada demonstrasi, tapi tidak sebrutal sekarang. Demonstrasi dulu terorganisir dengan rapi, berwibawa karena tujuan dan pesan jelas dan mendapat dukungan dari masyarakat luas. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini terkesan kurang terkelola dengan baik, struktur organisasi tidak jelas, ikatan sesama demonstran kurang kuat, tujuan tidak dipahami atau belum disepakati bersama, tidak memicu perilaku anarkis, maka para demonstran akan bingung. Dalam situasi "rusuh" mereka tidak tahu berbuat apa. Dapat saja terjadi benturan sesama demonstran, atau antara demonstran dengan masyarakat umum. Dalam situasi tidak terkendali, sifat agresif akan muncul. Tindakan anarkis dan destruktif akan terjadi berskala naik seperti memaki, melempar, membakar, menghancurkan. Korbannya tentu saja fasilitas di lokasi target baik milik pribadi maupun umum. Artinya, cara penyampaiannya yang tidak baik.

Bila dilihat dari segi pelakunya, perilaku anarkis dalam berdemonstrasi bila saja hanya sebagai perwujudan frustasi atau munculnya sikap alam bawah sadar pelaku demonstrasi selama ini terpendam dalam. Perjuangan berat sedari bayi hingga melewati masa remaja yang selama ini merupakan diorama dan terpatri dalam hati, akan kebangkitan dalam gejolak massa. Jadilah demonstrasi sebagai pelampiasan kegeraman atau perlawanan. Apalagi media massa cetak dan elektronik juga selalu menampilkan perilaku kekerasan atau contoh langsung kerumunan massa yang berbuat anarkis.

Bergabunglah kelompok kaum frustasi dan yang telah atau merasa terzalimi. Bergabunglah kelompok yang ingin menyampaikan pesan untuk mencapai tujuan dengan kelompok yang tersulut emosi. Mungkin juga ada yang coba memunculkan jati diri palsu yang jadi obsesinya karena dipupuk kondisi lingkungannya. Menyatulah rasa perlawanan atas kekalahan yang selalu mewarnai kehidupannya dalam persaingan demi persaingan setiap episode hidupnya selama ini.

Demonstrasi dengan kekerasan biasanya dipicu semangat kebersamaan semu. Merasa memiliki identitas yang sama karena bergerak bersama. Merasa akan tersisih dari kelompok bila tidak berbuat bersama, atau merasa pahlawan bila bisa berbuat lebih hebat dari yang lain.

Jadi pemimpin di masa mendatang tidak mudah. Pada era komunikasi dan masyarakat makin melek informasi serta menjunjung nilai demokrasi, unjuk rasa dapat saja jadi budaya bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar