Minggu, 05 Juli 2009

Skripsi & Plagiarisme



Skripsi merupakan sebuah karya tulis ilmiah bagi mahasiswa program S-1. Wajib atau tidaknya penyusunan skripsi itu tergantung pada kebijakan perguraan tinggi tempat mahasiswa mengikuti Program S1 itu sendiri. Artinya, ada sejumlah perguruan tinggi yang mewajibkan penyusunan skripsi bagi mahasiswa mereka; ada sejumlah perguruan tinggi yang lain menawarkan mata kuliah skripsi itu sebagai mata kuliah pilihan.
Sekedar contoh, tempat penulis menyelesaikan program S1, telah mewajibkan para mahasiswanya untuk menyusun skripsi sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program S1-nya, setidak tidaknya bagi mahasiswa mulai angkatan tahun 2007; pada jurusan itu tidak ada jalur non-skripsi, yang ada hanyalah program sarjana strata 1 dengan skripsi sebagai salah satu mata kuliah wajibnya; tidak ada mata kuliah yang dapat digunakan sebagai pengganti skripsi. Artinya, mahasiswa yang gagal menyusun skripsi dan/atau gagal ujian skripsi, maga gagallah yang bersangkutan untuk menjadi seorang sarjana.
Bila lembaga perguruan tinggi menawarkan jalur skripsi dan non-skripsi, maka umumnya sejumlah (besar) mahasiswa memilih jalur non-skripsi, kecuali bagi mereka yang memiliki pertimbangan tertentu yang mendorong mereka menyusun skripsi. Hal ini didasarkan pada perbincangan ala warung kopi dengan sejumlah mahasiswa, yang ketika ditanya mengapa mereka tidak menyusun skripsi, mareka memberikan alasan yang beragam: ada yang ingin segera lulus karena ada pertimbangan tertentu (walaupun sebenarnya yang bersangkutan ingin menyusun skripsi), ada yang menganggap penyusunan skripsi itu di luar kemampuannya, dan ada yang merasa puas dengan predikat sarjana tanpa skripsi. 
Penulis pernah mendapati salah seorang mahasiswa yang telah memprogramkan skripsi dan mengerjakannya selama satu semester, lalu mundur atau membatalkan program skripsinya. Lalu, saya bertanya kepadanya mengapa dia membatalkannya. Dia menjawab bahwa dia sudah tak mampu berpikir lagi. Padahal, menurut pandangan penulis bahwa dia tergolong mahasiswa yang cukup potensial. Hal ini, mungkin, disebabkan oleh adanya jalur lain, yakni: non-skripsi. Sehingga, begitu muncul sejumlah kendala dalam proses penyusunan skripsi itu, dia lalu menyerah. Bila, misalnya, penyusunan skripsi menjadi salah satu persyaratan seorang mahasiswa untuk mencapai derajat sarjana S1, maka mau tidak mau dia harus berusaha untuk memenuhinya. Mahasiswa yang cukup potensial namun tidak menyusun skripsi ini akan kalah sebelum berperang, bila kelak dia berkompetisi untuk posisi tertentu yang mensyaratkan bahwa yang bersangkutan adalah sarjana ber-skripsi. 
Bila seorang mahasiswa berkeinginan untuk menjadi staf pengajar di perguruan tinggi (dosen) atau melanjutkan ke S2 kelak, maka dia akan berupaya untuk menyusun skripsi. Karena, pada umumnya, salah satu syarat untuk menjadi staf pengajar di perguruan tinggi atau melanjutkan ke S2 adalah sarjana yang bersangkutan menyusun skripsi. Dengan demikian, dia menyusun skripsi lantaran dia memiliki target tertentu yang hanya dapat dicapai dengan skripsi. 
Skripsi tampaknya menjadi momok bagi sejumlah mahasiswa. Dengan demikian, menjadikan skripsi sebagai mata kuliah wajib bagi calon sarjana S1 dapat memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari penyusunan skripsi bagi mahasiswa yang menyusunnya. Mahasiswa yang menyusun skripsi tentu dituntut untuk banyak menggali berbagai informasi ilmiah yang mendukung topik yang ingin dikembangkan dalam sebuah karya ilmiah yang bernama skripsi, melalui kegiatan studi kepustakaan dan/atau penelusuran atau pencarian informasi ilmiah via internet. Hal yang demikian memungkinkan mahasiswa untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik yang kelak dijadikan spesialisasinya. 
Karena skripsi merupakan karya tulis ilmiah, maka ia menuntut penyusunannya untuk memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, antara lain: bahwa (1) subject-matter dinyatakan secara eksplisit, (2) kegiatan penelitian dilakukan secara obyektif, dan (3) hasil disampaikan secara sistematis, dan (4) ilmu pengetahuan itu open to change. Kaidah pertama memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu topik sebelum dia menyatakan subject-matter yang akan dicobapecahkan melalui kegiatan penelitian; kaidah kedua melatih mahasiswa berlaku obyektif bukan subyektif; dan kaidah ketiga mengarahkan mahasiswa untuk berpikir atau melakukan sesuatu secara sistematis, tidak acak-acakan, serta kaidah keempat mengajarkan bahwa seseorang hendaknya tidak beranggapan suatu temuan selalu benar untuk selamanya bila telah ada temuan baru yang menyatakan bahwa temuan terdahulu tidak atau kurang benar adanya.
Dampak positif penyusunan skripsi lainnya adalah bahwa mahasiswa penyusunnya dapat menjadikan penyusunan skripsi itu sebagai ajang latihan menulis karya ilmiah. Sebagaimana dikatakan di atas, mahasiswa yang hendak menyusun skripsi dituntut untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan bacaan atau referensi dan kemudian membaca, menelaah, menerapkannya dalam kegiatan-kegiatan penelitian, yang mencakup kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Pendek kata, penyusunan skripsi harus didasari oleh kemauan dan keterampilan menulis. Mahasiswa yang telah menyusun skripsi sendiri, berarti dia telah mendapatkan keterampilan membaca (kritis), menulis, dan pengalaman menyusun karya ilmiah. Keterampilan dan pengalaman semacam itu akan sangat bemanfaat bila dia melakukan kegiatan ilmiah serupa. Naluri ilmiah sarjana ber-skripsi ini dapat dengan cepat muncul sewaktu-waktu terjadi fenomena tertentu di masyarakat dan tergerak untuk segara menanggapi baik melalui kegiatan penelitian maupun melalui penulisan artikel ilmiah popular.
Dampak negatif dapat saja terjadi bila mahasiswa diwajibkan menyusun skripsi. Diwajibkannya penyusunan skripsi bagi mahasiswa, bahwa mungkin saja akan melakukan hal-hal yang tidak terpuji, yakni: melakukan plagiarisme, akibat dari ketidakmauan, atau kekurangmampuan, atau ketidakmampuan atau sejenisnya. Menurut Mintarsih Adimihardja dalam Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.2 Tahun 2001, (2001:58), menyatakan bahwa plagiarisme adalah pencurian dan penggunaan gagasan atau tulisan orang lain dan diakui sebagai miliknya sendiri, yang meliputi bukan hanya meminta seseorang untuk menyusunkan skripsinya tetapi juga peminjaman, reproduksi, terjemahan, dan perubahan tulisan orang lain yang diakui sebagai tulisannya sendiri. Sementara itu, Gunawan Wiradi dalam Etika Penulisan Karya Ilmiah (1996:37), menjelaskan bahwa plagiarisme adalah suatu perbuatan mengemukakan kata-kata, frasa, kalimat, pendapat, ungkapan-ungkapan, gagasan (sebagian atau seluruhnya), dari orang lain, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya sehingga memberikan kesan sebagai karya sendiri.
Lebih lanjut, Mintarsih Adimihardja menjelaskan bahwa peminjaman gagasan atau pendapat orang lain dapat dianggap sebagai plagiarisme yang bersangkutan mengutip atau mengulang gagasan atau pendapat orang lain itu dalam suatu percakapan tanpa meruruk kepada yang punya gagasan. Reproduksi dikategorikan sebagai plagiarisme; kegiatan ini dilakukan dengan cara mereproduksi atau mereduplikasi karya orang lain dan diakui sebagai tulisan sendiri. Penerjermahan karya penulis asing dan diakui sebagai gagasan si penterjemah dipandang sebagai plagiarisme. Dan, terakhir, tulisan yang merupakan hasil modifikasi (perubahan) dianggap juga sebagai plagiarisme (Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4 No.2 Tahun 2001, hal.58 – 61). 
Kegiatan tulis-menulis, khususnya tulis-menulis karya ilmiah, termasuk skripsi, ternyata tidak gampang. Sehingga, kalau kondisi tertentu mengharuskan seseorang untuk menulis karya ilmiah, sementara yang bersangkutan ogah-ogahan atau tidak mau capek-capek, mungkin saja dia akan memesan atau meminta bantuan kepada orang pintar untuk menyusunkan karya yang disebut ilmiah itu. Kalau plagiat dikatakan sebagai perbuatan dosa, maka seorang penjual jasa penyusunan skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya disebut sebagai apa?

Akhirnya, 
Wallahul Musta’an ila Sabil al-Rahman


Tidak ada komentar:

Posting Komentar